Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima (Hellen Keller)

WIYONO SANG INSPIRATOR PERUBAHAN

Kisah Sukses Wiyono

Wiyono sedang menyimak materi pelatihan advokasi di  Kecamatan Weru Sokoharjo beberapa waktu yang lalu (foto: Jeje)

Oleh:

Dionisius Sandytama Oktavian

Seorang pria dengan lahap bersantap siang seusai pelatihan advokasi yang digagas KARINAKAS di salah satu rumah makan di Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo. Mengenakan kaus polo merah, bercelana panjang hitam, dan berpeci, sesekali ia mengobrol dan bercanda dengan peserta lain. Pria bertubuh tambun tersebut bernama Wiyono. Tragedi kecelakaan 8 tahun silam membuatnya menjalani profesi yang tak pernah dibayangkannya. Bagaimana kisahnya?

            Sembilan tahun silam, pria yang lahir pada Hari Valentine 40 tahun yang lalu tersebut melamar pekerjaan ke Semarang. Ia pun diterima dan ditempatkan di Kalimantan Selatan sebagai buruh di salah satu perusahaan pertambangan biji besi. Tak dinyana, tanah rantau membawa malapetaka baginya. Baru satu tahun bekerja di sana, ia ditabrak mobil yang membuat dirinya harus kembali ke kampung halaman.

            “Saat itu saya dibantu pengobatan. Dari perusahaan 50%, yang menabrak 50%. Tetapi, saya harus dirumahkan karena tak memungkinkan lagi bekerja di sana,” kenangnya. Setelah pulang, ia sempat bingung akan berbuat apa. Ia menggantungkan hidupnya kepada sang istri, Suwarni ,yang akhirnya juga sempat merantau ke luar Jawa.

            Tetapi Wiyono tak ingin terus meratapi nasib. Ditata kembali hidupnya dari nol. Berbekal ketrampilan tangannya, ia akhirnya menggeluti bisnis kerajinan mainan anak. Rumahnya di Jetis, RT 01/RW 013, Desa Krajan, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, menjadi saksi bisu keuletannya menjadikan bambu ke berbagai bentuk mainan anak, seperti gasing dan seruling.

            Tak disangka, usahanya mendapat respon positif dari masyarakat. “Biasanya, setelah mengikuti pameran, pesanan melonjak. Ada yang dari Solo, Bantul, dan sebagainya. Umumnya mereka pesan 200-300 barang,” ujar bapak 5 anak itu. Untuk pengantaran barang ke luar kota, ia lakukan sendiri dengan ditemani istri tercinta. Selain pesanan, ia juga memasarkan sendiri produk hasil kerajinannya. Biasanya, ia mampir jika melihat ada kegiatan yang terdapat banyak orang. Dari situ, produknya bisa laku hingga 20 barang.

            Untuk proses pembuatan, jika tidak banyak pesanan, ia biasa lakukan sendiri. Jika pesanan membludak, istri dan anak-anaknya ikut membantu. “Anak saya yang membantu itu yang nomor dua sampai empat. Yang anak pertama sudah kerja, sedangkan yang ragil (anak terakhir) masih bayi,” tuturnya. Ia justru sering melakukan pekerjaannya saat malam hari hingga menjelang subuh karena di saat siang hari ia harus memasarkan produknya dan banyaknya acara yang harus didatangi.

            Selain dipasarkan sendiri, ia biasa memasarkan produknya melalui Koperasi Sehati yang menjual produk dari kaum difabel. Tetapi menurutnya peran dari koperasi tersebut belum begitu besar. “Lokasinya tidak strategis. Saya punya angan-angan, produk para difabel ini dapat dipasarkan di tempat umum yang ramai, semisal pasar atau terminal sehingga banyak masyarakat yang tahu,” harapnya. Selain itu pendampingan bagi kaum difabel juga menurutnya belum maksimal. “Bagus, selama ini kami diberi pelatihan-pelatihan. Tetapi, pada umumnya kami sudah mempunyai ketrampilan sendiri-sendiri. Alangkah lebih baiknya jika kami diberi pendampingan produk ataupun pengembangannya agar apa yang kami buat dapat bersaing dengan produk lain,” tambahnya.

            Selain bergabung dengan Koperasi Sehati, ia juga mendirikan Koperasi SHG (Self Help Group). Tujuannya untuk menampung kaum difabel di desanya untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Pada mulanya, respon yang didapatnya tidak begitu baik. Ia bahkan harus menemui satu persatu orang hingga 3-4 kali. “Saya tidak menjanjikan hasil materi kepada mereka. Tetapi saya mengajak mereka untuk duduk memecahkan masalah bersama. Saya beri mereka waktu untuk menimbang-nimbang. Akhirnya, Alhamdullilah mereka akhirnya tertarik bergabung,” ucapnya penuh rasa syukur.

            Hingga kini koperasi yang didirikannya sudah mempunyai 29 anggota. Hal itu yang menarik pemangku jabatan di tingkat desa. “Bapak Kepala Desa orangnya sosial sekali, jika kami memerlukan anggaran, prosesnya cukup mudah dan tanggapan beliau juga baik,” syukurnya.

           

menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal; tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi; maka menerima kasih sekaligus juga memberi kasih karena memungkinkan orang lain memberi kasih #RomoMangun "Burung-burung Manyar"

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com