Yogyakarta, 25 September
Selama 2 hari berturut-turut,24 – 25 September 2013, Program CBR KARINAKAS menyelenggarakan Pelatihan CBR/ RBM bagi 2 Desa di area dampingan Bantul, yaitu Desa Sriharjo Kecamatan Imogiri dan Desa Panjangrejo Kecamatan Pundong. Pelatihan diikuti oleh berbagai elemen desa, yaitu Paguyuban Peduli Difabel Desa, Kader PKK, SHG, Kader Posyandu, Kepala Dusun, Pejabat Pemerintah Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Kader PAUD, Puskesmas, Sekolah Inklusi, dan SLB. Tujuannya, memperkuat pemahaman para pelaku CBR tentang isu difabilitas dan menyusun perencanaan program desa yang mengarah pada pendekatan program CBR . Untuk Desa Sriharjo, pelatihan diselenggarakan di aula Puskesmas Imogiri II, sedangkan untuk Desa Panjangrejo bertempat di ruang pertemuan Balai Desa Panjangrejo.
Pelatihan dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama, tentang difabilitas, disampaikan oleh Ninik, CBR-RW KARINAKAS. Sesi ini diawali dengan simulasi untuk lebih mengenal difabilitas dan permasalahan yang dihadapi. Peserta dibagi menjadi 2 kelompok. Setiap kelompok terdapat 1 aktor yang berperan sebagai difabel, sedangkan anggota kelompok yang lain berbagi peran sebagai keluarga difabel, tetangga/ masyarakat, Pemerintah Desa terkecil/ Ketua RT, dan observer. Setelah melakukan simulasi, masing-masing peran diminta untuk sharing pengalaman tentang apa yang dirasakan pada simulasi tersebut maupun memberikan komentar terhadap simulasi yang dilakukan oleh kelompoknya dan juga kelompok lain. Peserta yang berperan sebagai difabel menyatakan empatinya, bahwa ternyata memang berat menjadi seorang difabel yang masih sering mendapat stigma negatif di masyarakat. Difabel mengalami berbagai hambatan untuk beraktivitas, apalagi, jika tidak ada dukungan dari Pemerintah Desa setempat, termasuk dalam hal aksesibilitas fisik, misal fasilitas umum yang aksesibel. Dari simulasi tersebut juga dapat digali fakta-fakta tentang difabel yang selama ini terdapat di masyarakat.“Saya berjalan dalam kegelapan, lalu meraba-raba, dan harus menemukan barang yang saya cari, kemudian harus pergi ke tempat yang dituju. Ternyata memang sangat susah. Betapa beratnya menjadi tunanetra. Sampai kejeglong-jeglong bila berjalan, “ ucap Pak Kesra Panjangrejo yang berperan sebagai difabel netra.
Dengan menumbuhkan empati dari aparat desa seperti ini, diharapkan ke depan kebijakan-kebijakan desa akan semakin berperspektif difabel. Pada sesi materi difabilitas ini juga ditegaskan kembali tentang pemilihan istilah “difabel” daripada “penyandang cacat”, jenis dan penyebab difabilitas, kebutuhan-kebutuhan difabel, juga tentang pandangan dominan dan program-program bagi difabel yang selama ini dikembangkan di masyarakat, dari dulu hingga sekarang. Satu tayangan klip pendek berdurasi sekitar 5 menit turut menegaskan bahwa difabel adalah orang dengan kemampuan berbeda, bukan orang yang tidak mempunyai kemampuan.
“Saya sangat setuju, kita tidak lagi menggunakan kata “cacat”, dan lebih memilih sebutan “difabel”, karena mereka punya kemampuan yang tidak kalah dari orang lain jika mereka diberi kesempatan,” kata salah satu peserta yang diamini oleh peserta lainnya.
Sesi kedua berisi tentang pengenalan RBM / CBR oleh Karel Tuhehay, Unit Manager Bantul. Pada sesi ini lebih banyak menggali pengalaman peserta dalam melakukan CBR, kemudian disertai dengan studi kasus, dan bersama-sama membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL). Terlihat peserta benar-benar diajak turut aktif dalam membahas kasus-kasus melalui diskusi kelompok, juga dalam menyusun RTL.
Pelatihan hari pertama menghasilkan RTL bagi CBR Desa Sriharjo yang berkaitan dengan aktivasi paguyuban peduli difabel dan pendidikan bagi difabel. Sedangkan permasalahan penyadaran masyarakat dan isu mata pencaharian (livelihood) menjadi fokus pada RTL yang dimunculkan pada pelatihan hari kedua untuk Desa Panjangrejo.
Antusiasme yang cukup besar dari semua peserta nampak pada 2 hari kegiatan tersebut, dibuktikan dengan partisipasi yang tinggi dari mereka, baik dalam simulasi maupun diskusi. Namun disayangkan, beberapa peserta yang berasal dari elemen Pemerintah Desa tidak dapat mengikuti sampai pada sesi kedua, padahal sesi kedua ini diharapkan dapat melahirkan RTL yang didukung oleh berbagai pihak, termasuk Pemerintah Desa, yang notabene adalah pemegang kebijakan di wilayah desa tersebut.
Ninik Nurcahyo