Sehono (37th) tersenyum ketika beberapa tamunya terheran-heran dengan ceritanya tentang panen lomboknya yang bisa 70 kali petik dalam satu tahun. Lahan kering di lereng timur Merapi diubahnya menjadi ladang sayuran yang menguntungkan. Bahkan, ia mampu “meracuni” tetangga-tetangganya untuk berani melepaskan ketergantungan pada hutan di lereng Merapi.
Sehono dan Romo Banu Kurnianto (KARINAKAS)
Sehono (37th) tersenyum ketika beberapa tamunya terheran-heran dengan ceritanya tentang panen lomboknya yang bisa 70 kali petik dalam satu tahun. Lahan kering di lereng timur Merapi diubahnya menjadi ladang sayuran yang menguntungkan. Bahkan, ia mampu “meracuni” tetangga-tetangganya untuk berani melepaskan ketergantungan pada hutan di lereng Merapi.
Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah berada di kawasan rawan bencana. Kurang lebih 7 km dari puncak Merapi. Siklus erupsi empat tahunan sudah menjadi bagian dari hidup warga. Mengungsi bukanlah hal yang asing. Sebelum erupsi besar 2010, sebagian besar warga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan Merapi dan tambang pasir.
Sehono merupakan salah satu pelawan arus masyarakat. Ia menjadi relawan hutan lindung Merapi. Sekaligus, tidak berminat untuk menambang pasir. Walau mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah formal, kecintaannya pada Merapi dan kegelisahannya akan kemandirian ekonomi menuntunnya pada hasrat belajar pertanian yang efektif dan dengan berani mewujudkannya.
Pada 2005, ia memulai belajar mengelola tanah pertanian dengan memanfaatkan alam sekitar. Bahkan, ia membangun semangat untuk sesedikit mungkin menggunakan produk kimia. Dengan tanah keluarganya, dia memulai menanam sayuran. Sehono menanam dengan cara tumpangsari, satu lahan ditanami beberapa jenis tanaman. Pupuk dibuat dari kotoran hewan yang sudah diolah.
Saat itu, Sehono berjuang sendirian. Dia satu-satunya orang yang mengolah tanahnya. Warga lebih suka menambang pasir atau mengambil kayu di hutan. Menjadi petani dianggap pilihan yang tidak menguntungkan. Bahkan, ketika ajakan untuk mengolah tanah sendiri dimulai, hanya terkumpul 30 orang yang bersedia menjadi anggota kelompok tani desa Tegalmulyo.
“Waktu itu, semua orang menyangsikan usaha saya. Tanah di desa ini dianggap cuma bisa ditanami ketela pohon atau jagung saja, “ kata Sehono. “ Saya berniat untuk membuktikan pada masyarakat. Saya bisa hidup tanpa harus menebang pohon dan menggali pasir. Tanah saya pasti bisa ditanami sayuran yang menguntungkan.”
Warga desa Tegalmulyo ternyata membutuhkan bukti nyata. Ketika yang dikerjakan oleh Sehono berhasil, baru beberapa orang mulai mengikutinya. Satu per satu keluarga di desa itu beralih profesi menjadi petani dan peternak. Terlebih, semenjak 2010, pemerintah kabupaten Klaten melarang penebangan hutan dan penambangan pasir di wilayah Merapi.
Kini, lebih dari 80% keluarga di Tegalmulya mengolah lahannya, menjadi petani sayuran. Dengan pertanian yang terintegrasi dengan ternak, lahan menjadi lebih subur dan cocok ditanami dengan sayuran.
Keluarga Caritas Internationalis, melalui KARINAKAS, turut terlibat dalam proses pendampingan dalam proyek rehabilitasi Merapi pasca erupsi 2010. Intervensi ke komunitas dilakukan untuk meningkatkan kapasitas warga di bidang pertanian.
Tanaman cabai di ladang hortikultura milik Sehono.
“KARINAKAS memberi subsidi untuk pengadaan bibit, obat hama, plastik penutup, dan pupuk tambahan. Itu sangat membantu. Setelah erupsi 2010, lahan dan tanaman menjadi rusak karena hujan abu. Untuk memulai lagi bertani dengan usaha sendiri, tentu akan membutuhkan waktu lama. Tanpa bantuan itu, mungkin warga di sini akan kembali menggali pasir dan menebang pohon di hutan,” Sehono menjelaskan.
Dalam proyek rehabilitasi ini, Sehono menjadi salah satu relawan KARINAKAS yang membagi pengetahuannya tentang pertanian kepada kelompok-kelompok tani.
“Paling tidak, pertanian ini membuat orang tidak hanya merusak hutan dan menambang pasir untuk memperoleh pendapatan. Dan, masa depan menjadi petani sayur lebih terjamin,” kata Sehono menutup pembicaraan.