Konsep Pembangunan Inklusif; Apakah Perlu ?

Saat ini, hampir di semua negara, difabel merupakan salah satu dari kelompok yang terpinggirkan. Difabel masih mendapatkan kesulitan, untuk mendapatkan perhatian sebagai objek dalam program – program pembangunan, sekaligus sebagai subjek / pelaku aktif. Dalih bahwa masih banyaknya isu yang harus dipikirkan selain masalah difabilitas seringkali menjadi alasan bagi beberapa tokoh pembangunan untuk mengesampingkan isu difabilitas atau bahkan  tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap isu ini.

 

Menurut International Disability and Development Consortium ( IDDC ) yang ditampilkan di website www. make-development-inclusive.org, pembangunan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok / kaum yang terpinggirkan  di dalam proses pembangunan. Saat ini, hampir di semua negara, difabel merupakan salah satu dari kelompok yang terpinggirkan. Difabel masih mendapatkan kesulitan, untuk mendapatkan perhatian sebagai objek dalam program – program pembangunan, sekaligus sebagai subjek / pelaku aktif. Dalih bahwa masih banyaknya isu yang harus dipikirkan selain masalah difabilitas seringkali menjadi alasan bagi beberapa tokoh pembangunan untuk mengesampingkan isu difabilitas atau bahkan  tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap isu ini. Hal ini masih ditambah lagi dengan dukungan angka statistik di beberapa negara yang seakan – akan menunjukkan bahwa jumlah difabel di negara – negara tersebut sangat kecil untuk diperhatikan. Padahal sebenarnya angka – angka tersebut masih perlu dipertanyakan keakuratannya.  Kisaran angka prevalensi dari difabel seringkali terlihat sangat dramatis, dari di bawah 1 % di Kenya dan Bangladesh, sampai pada angka 20% di New Zealand, ini terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, misalnya definisi/ pengertian yang berbeda mengenai difabilitas, perbedaan metode pengumpulan data, perbedaan pada tipe dan kualitas perencanaan pendataan. Selain karena itu prevalensi difabilitas di Asia sulit untuk diukur karena besarnya populasi dan kurangnya sumberdaya manusia dan pendukung survey yang lain.

 

Prof. Haryono Suyono pada tahun 2005 menyatakan bahwa banyak negara-negara yang tidak aktif melakukan usaha untuk mengumpulkan data yang akurat.  Negara – negara semacam itu seringkali hanya bergantung pada angka perkiraan yang dibuat WHO, yaitu dengan jumlah penyandang cacat sekitar 10 persen dari seluruh penduduk negaranya. Perkiraan itu bahkan bisa bertambah tinggi jika penduduk negara tersebut dianggap kekurangan gizi, menderita karena musibah tanah longsor, gunung berapi yang meletus, atau kejadian lainnya. 

 

Pembangunan inklusif memang bukan merupakan sebuah konsep yang sama sekali baru bagi lembaga – lembaga yang bergerak di bidang pembangunan dan kemanusiaan. Walaupun demikian, kita patut memberi apresiasi kepada Caritas Asia sebagai lembaga kemanusiaan yang mengkoordinasikan gerakan dari lembaga – lembaga anggotanya untuk lebih memperkenalkan konsep pembangunan inklusif.

 

Hal ini diwujudkan melalui penyelenggaraan pertemuan Caritas Asia Regional Forum di Phnom Penh, Kamboja tanggal 16-18 juni 2010 dimana isu pembangunan inklusif  menjadi bahan diskusi utama untuk hari pertama dari pertemuan yang berlangsung selama 3 hari. Isu pembangunan inklusif disampaikan melalui paparan 4 panelis dan diikuti dengan diskusi di antara wakil – wakil lembaga Caritas di tingkat nasional  untuk membahas isu pembangunan inklusif di dalam gerak dan langkah lembaga – lembaga Caritas.

 

Panelis pertama , Venkatesa Reddy dari CBR Forum India menyampaikan mengenai pentingnya konsep pembangunan inklusif yang terkait difabel untuk diterapkan dalam upaya pemberdayaan dan pembangunan masyarakat secara umum, termasuk upaya – upaya yang dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat seperti halnya lembaga di jejaring Caritas. Panelis kedua, Sok Deazoret dari Caritas Cambodia yang menyampaikan tentang pentingnya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam upaya pembangunan inklusif demi tercapainya masyarakat inklusif. Panelis ketiga, dr. B. Nugroho Budi dari Karitas Indonesia KAS, menyampaikan mengenai CBR / RBM ( Community Based Rehabilitation / Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat ) sebagai sebuah strategi yang bisa dilakukan untuk mewujudkan tercapainya masyarakat inklusif. Panelis keempat adalah Wegner-Schneider Christine  dari Caritas Germany yang menyampaikan tentang tantangan – tantangan dan peluang yang dihadapi dalam upaya melakukan pembangunan inklusif demi tercapainya masyarakat inklusif.

 

Pertemuan ini merupakan salah satu upaya dari Caritas Asia untuk memberikan perhatian terhadap isu pembangunan inklusif dan secara khusus isu difabilitas di dalam gerak dan langkah lembaga anggotanya. Diharapkan isu ini bisa mendapatkan perhatian dan pengarusutamaan ( mainstreaming ) dalam kegiatan – kegiatan yang dijalankan oleh lembaga anggota di Asia.

 

Wegner-Schneider Christine mengungkapkan mengenai banyaknya tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan pembangunan inklusif dengan upaya pengarusutamaan difabilitas. Sebagian besar orang yang bekerja di bidang pembangunan, termasuk di dalamnya yang bergerak melalui LSM-LSM yang ada, masih berpikir bahwa upaya inklusi dari difabel adalah upaya yang terlalu sulit dan merupakan hal yang sebaiknya hanya ditangani oleh para spesialis saja. Hal ini mengarah kepada perencanaan program pembangunan yang terbiasa mengkotak-kotakkan sebagai “ pembangunan untuk masyarakat umum( baca ; pembangunan untuk masyarakat non difabel)  “ di satu sisi, dan “ pembangunan khusus untuk difabel “ di sisi yang lain yang dinilai tidak banyak memiliki pengaruh atau hubungan dengan pembangunan masyarakat secara umum.

 

Hal – hal yang disampaikan oleh Wegner-Schneider Christine diatas secara nyata pula dapat kita lihat pada kondisi nyata di masyarakat. Kita bisa melihat bahwa sebenarnya banyak pihak sudah memberikan perhatian kepada difabel, secara nyata misalnya melalui upaya pembangunan aksesibilitas untuk difabel di fasilitas umum seperti pembuatan “plengsengan” untuk  pemberhentian bus Trans Jogja di Yogyakarta dan pembuatan jalur panduan untuk  tunanetra di trotoar jalan Malioboro Yogyakarta. Namun karena upaya untuk pembangunan selama ini masih lebih banyak didominasi adanya pengkotakan antara “ pembangunan untuk masyarakat umum ( baca; pembangunan untuk masyarakat non difabel ) “ dengan “pembangunan khusus untuk difabel”, maka sebagian besar masyarakat umum kurang bisa memahami dari hak dan kebutuhan difabel untuk bisa terlibat dan terinklusi dengan kegiatan masyarakat umum. Hal yang nyata bisa terlihat dari ditutupinya jalur panduan untuk tunanetra dengan kios-kios dagangan oleh masyarakat yang tidak tahu akan kepentingannya, atau sebagai contoh lain adalah tertutupnya plengsengan untuk pemberhentian bus dengan pot tanaman yang mengakibatkan teman – teman difabel terutama yang memakai kursi roda tidak bisa mengaksesnya.


Melalui contoh diatas bisa kita lihat bahwa pembangunan yang bersifat inklusif  dan tidak meminggirkan difabel perlu diupayakan melalui upaya pengarusutamaan difabilitas ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat bisa mengerti, memahami dan akan bertindak dengan cara pandang yang sesuai bagi pemberdayaan dan inklusivitas difabel di tengah masyarakat. Upaya pengarusutamaan ini bukan berarti upaya – upaya khusus yang diperlukan difabel harus ditinggalkan. Kita menyadari bahwa banyak difabel yang memerlukan upaya – upaya khusus untuk mendorong mereka mampu terlibat dalam kehidupan masyarakat seperti misalnya upaya rehabilitasi medis dan sebagainya. Upaya khusus dan  upaya pengarusutamaan yang saat ini terkenal sebagai sebuah konsep “ twin track approach ” harus berjalan bersama demi terwujudnya pembangunan inklusif.

 

Terwujudnya masyarakat yang senantiasa berkembang bersama menuju kemajuan dan kebaikan bersama tanpa adanya sebagian masyarakat yang terpinggirkan di dalam prosesnya adalah cita – cita yang luhur. Fakta yang disodorkan oleh Bank Dunia di tahun 2002 yang  menunjukkan bahwa difabilitas sangat terkait dengan kemiskinan. Difabel yang miskin terperangkap dalam sebuah lingkaran kemiskinan-difabilitas, baik sebagai sebab maupun akibat.  Presiden Bank Dunia juga menyampaikan bahwa terdapat lebih dari 1,3 miliar umat manusia berusaha hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar sehari, dan para difabel di negara tersebut berada di posisi  paling bawah dari tumpukan situasi yang ada.  Melihat semua hal ini cita – cita yang didengungkan dalam “ Millenium Development Goals ( MDG ) “  sepertinya juga sulit untuk dicapai kecuali hak – hak dan kebutuhan dari difabel juga dipertimbangkan dalam proses pembangunan. Hal ini juga sudah disadari oleh PBB, yang kemudian mengadopsi sebuah resolusi mengenai upaya membuat MDG didasari sifat inklusif.  Dengan demikian konsep pembangunan inklusif seyogyanya juga menjadi kesadaran kita dan  menjadi sebuah konsep yang mendasari upaya – upaya pembangunan yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat, baik pemerintah, LSM maupun komponen – komponen masyarakat yang lain.

 

 

 

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com