KARINAKAS kedatangan seorang relawan yang mengkoordinasi sebuah posko pengungsi Merapi di Bantul. Beliau adalah seorang guru SD Semuten Jatimulyo, ibu muda ini bernama Wiwit. Dia datang ke KARINAKAS membawa data – data pengungsi Merapi yang tinggal di desanya, untuk membantu pengungsi yang tinggal tersebar di wilayahnya.
Senin lalu(8/11), anak – anak sudah mulai bersekolah. Anak – anak pengungsi dari Cangkringan dan sekitarnya diikutkan di sekolah di sekitar Kecamantan Dlingo Bantul. Mbak Wiwit rela mencarikan seragam pantas pakai dari kolega – koleganya untuk anak – anak yang mengungsi supaya mereka bisa bersekolah sementara hingga mereka pulang kembali ke kampungnya.
Sebagai relawan, mbak Wiwit meluangkan untuk sekedar berbincang-bincang dengan pengungsi untuk mengurangi kebosanan mereka. Usai mengajar, dia mengunjungi pengungsi – pengungsi sambil membawakan makanan yang diambil dari warung orang tuanya. Meski hanya lauk seadanya, dia begitu senang bisa berbagi. “ Saya jadi punya ikatan bathin yang kuat dengan mereka. Saya banyak melihat pengungsi yang kadang makan sambil melamun, matanya begitu kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Sehingga saya sering mengajak ngobrol untuk meringankan pikiran pengungsi.” Kata Wiwit. Drama Merapi menuai kisah sedih, Wiwit bercerita ada seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang selamat, namun ibunya tewas di dekat kulkas saat awan panas datang. Sebelum anak itu dievakuasi, dia menutupi ibunya dengan jaket, selang beberapa hari dia mendapat fotocopy KTP ibunya yang telah dimakamkan masal. Ada pula seorang ibu yang hamil tua, minta tolong untuk mencarikan suaminya yang entah dimana. Sebagai orang yang mendengarkan cerita – cerita tersebut, Wiwit kebingungan bagaimana cara menolong mereka, bagaimana caranya dia bisa mencarikan suami ibu itu. “Kalau makan atau tempat tinggal kami masih sanggup membantu, karena penduduk sangat terbuka untuk menampung pengungsi apalagi untuk mereka yang masih mempunyai anak-anak kecil. Banyak anak-anak pengungsi yang sakit karena cuaca yang tidak bisa diprediksi, makan dan tinggal seadanya.” ceritanya berkaca - kaca.
Sebagai seorang relawan yang mempunyai kemampuan terbatas, Wiwit hanya bisa mendengarkan keluh kesah pengungsi. “Mereka harus punya kegiatan, supaya tidak ‘sakit’. Sebagian pengungsi laki-laki yang tinggal di desa kami, diberdayakan di sekitar desa. Mereka yang berusia 40 tahun keatas dilibatkan membuat kusen. Ibu – ibu diajak rencek (mencari ranting) untuk dijual ke pasar Dlingo, mereka pun dilibatkan ke sawah karena sekarang sudah musim tanam. Kegiatan ini semacam terapi psikologis agar mereka tidak ‘sakit’” kata Wiwit yang mengkoordinir posko di Desa Pandean.
Wiwit saat itu ditemani oleh Ketua RT Dusun Pancuran, Terong, Dlingo Bantul yang sedang menaikan tikar dan logistik ke pick up mengatakan “Warga desa kami saling membantu pengungsi dengan cara iuran untuk membeli air tanki dari sumber mata air di Dlingo. Kami sangat senang bisa saling membantu. Biarlah ini menjadi tabungan rohani kami.”