Erupsi Merapi (26/10 dan 4-6/11) membuat ribuan penduduk di radius 20 km dari puncak meninggalkan kediamannya menuju tempat yang lebih aman. Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali adalah empat kabupaten di dua propinsi yang terkena dampak langsung. Material vulkanik (awan panas, kerikil, pasir, dan abu) menjadi menu cuaca harian. Wilayah di area berbahaya tak lagi berwarna-warni. Semuanya tampak abu-abu karena tertutup dengan abu vulkanik. Aroma belerang tercium menyengat tiap kali gerimis mengguyur.
Dalam alam pikiran warga lereng Merapi, gunung berapi itu bukanlah sebuah malapetaka. Ketika Merapi menjadi bergejolak, bagi mereka, itu tidak berarti bencana. Hidup mereka sehari-hari sangat erat terkait dengan gunung itu. Sawah dan ladang mereka menjadi subur karena mengandung abu vulkanik yang telah ada di masa-masa lalu. Air mereka tetap bening dan segar karena langsung dari mata air pegunungan yang tidak tercemar oleh polusi tanah. Ternak mereka gemuk dan sehat karena rumput-rumput segar yang tumbuh di lingkungan mereka. Tak mungkin mereka mengatakan Merapi mengamuk ketika letusan terjadi. Menurut mereka, Merapi sedang duwe gawe, punya hajat (Tentunya, ada pemahaman filosofis-spiritual yang memerlukan waktu panjang untuk mengerti maksud mereka). Maka dari itu, sebaiknya memberi kesempatan Merapi untuk menyelesaikan kegiatannya dengan menyingkir sementara.
Dapat dibayangkan bagaimana situasi dalam posko-posko. Keterbatasan sarana dan prasarana tak dapat dipungkiri. Dalam situasi yang serba sulit itu, masih banyak orang yang berbela rasa. Bantuan datang silih berganti dari berbagai instansi / komunitas. Mobil keluarga, angkutan terbuka, truk, dsb lalu lalang membawa bantuan yang dibagikan di posko-posko. Umumnya, ada tulisan di kendaraan-kendaraan tersebut, “ BANTUAN MERAPI, BANTUAN UNTUK PENGUNGSI MERAPI, UNTUK PENGUNGSI”, dan sebagainya. Tak lupa disertakan, tulisan nama organisasi atau komunitas yang menjadi aktor pengirim / pemberi bantuan.
Istilah mengungsi dan pengungsi menjadi akrab di telinga kita karena peristiwa ini. Mengungsi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ungsi yang mendapat awalan me- yang berarti menghindarkan diri dari bahaya. Bahasa Inggris memiliki term survivor. Kata ini memiliki makna orang yang berhasil mengusahakan dirinya untuk tetap hidup. Ada nuansa perjuangan di sana. Pemerintah dan aktivis kemanusiaan dalam organisasi – organisasi kemanusiaan membentuk kata baru dalam situasi ini. Bukan pengungsi, melainkan penyintas. Kata penyintas mau menunjuk bahwa mereka yang menghindar dari bahaya akan kembali lagi ke tempat asalnya saat situasi sudah aman.
“Nyisih” begitu warga desa Sumber, Dukun, Magelang memaknai proses menghindar dari bahaya erupsi. Mereka tidak menggunakan kata mengungsi. Kata mengungsi memberi kesan pada mereka bahwa Merapi tidak bersahabat dengan mereka. Kata nyisih (bhs. Jawa) mengandung makna menyingkir sejenak ke tempat yang lebih aman dan tenang. Dalam sekian waktu, meninggalkan rumah dan nanti akan kembali lagi. Mereka memberi kesempatan Merapi menyelesaikan hajatnya.
“Ora golek bantuan kok mas. Goleke slamet”, begitu seorang bapak yang saya temui di Muntilan berkata. Tidak mencari bantuan kok mas. Yang dicari adalah keselamatan. “Ada bantuan yang datang ya syukur. Jika tidak ada bantuan, ya tetep berusaha bagaimana caranya supaya tetap hidup,” lanjutnya. Saya sampai lupa menanyakan nama dan usianya. Pernyataan itu sudah cukup mencengangkan. Dalam perbincangan kami selanjutnya, terungkap keyakinannya akan suburnya tanah setelah letusan. Ini berarti, kehidupan mereka nantinya tetap akan berjalan, bahkan lebih baik. Di tengah situasi yang serba sulit, mereka masih memiliki harapan besar untuk tetap tinggal dan melanjutkan hidup di lereng Merapi.
Lepas dari istilah apa yang akan digunakan, yang pasti warga di lereng Merapi bukanlah korban situasi. Mereka bukan sosok-sosok yang menyerah kalah pada kenyataan yang membawa mereka pada titik nadir kehidupan. Kegelisahan, ketidaknyamanan di tempat sementara, dan keadaan serba sulit lainnya, hanyalah sementara dan bukan alasan untuk tidak berdaya. Harapan tetap dipupuk dan hidup harus diperjuangkan apapun kondisinya.
Sungguh beruntung KARINAKAS mendapat kesempatan untuk bergulat bersama para penyintas. Memberikan pelayanan tidak berarti meletakkan mereka yang dilayani dalam situasi yang tak berdaya sama sekali dan tidak berarti yang melayani berada dalam posisi yang lebih superior. Pelayanan yang tepat tidak menempatkan diri dalam posisi yang lebih tinggi terhadap orang lain yang dilayani (Deus Caritas Est, art 35).
Albert Deby H
Communication Officer
KARINAKAS
Yogyakarta