Merapi memasuki episode baru setelah tujuh pekan berlalu. Pagi hari Merapi begitu kemayu, dengan kabut tipis seolah memberinya cadar. Saya melangkah pasti hingga sampai di Dusun Banjarsari, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Sore itu, saya melihat ada sebuah keluarga yang duduk diatas gundukan pasir vulkanik, mereka memandangi dua buah rumah berjajar.
“Pinarak, nak,”(“Mampir, nak.”) kata seorang Kakek. Beliau adalah warga asli Desa Balerante. Tujuh puluh lima tahun lalu, Sediyo (75) lahir didesa ini. Kakek bersama anak – anak perempuan, seorang mantu dan cucunya sedang duduk termangu didepan rumah yang hangus. Rumah itu adalah rumah Sediyo. Tawaran kakek untuk mampir adalah duduk di gundukan pasir vulkanik disimpang jalan yang memisahkan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten.
Pengalaman pertama, bertamu beralaskan sofa pasir vulkanik, tanpa disuguh air minum. Sang kakek tersenyum pada saya. Beliau hanya menjawab semua pertanyaan saya dengan kata ‘ndak’ atau ‘ndak tau’ berulang pada setiap pertanyaan dan tersenyum. Saya bertanya, apakah kakek sedih rumahnya hangus, sapinya sudah diganti pemerintah dan besok kakek tinggal dimana. Senyum kakek mengangkat semua garis – garis keriputnya dan menjadi sangat manis seolah tidak terjadi apa-apa. Tujuh ekor sapinya mati, rumah rusak, dan tidak tahu akan hari esok. Pasrah, tidak memiliki apapun seolah membuat kakek ringan menjalani hidup.
“Bapak (kakek Sediyo), sudah tanda tangan diatas materai, katanya pemerintah mau memberi bantuan untuk ternak yang mati. Tapi belum tau kapan akan diterima.” Kata Widodo menantu kek Sediyo. Banyak kisah yang diceritakan keluarga ini dan membuat saya hanya mampu memandangi mereka satu per satu. “Saya khawatir Fani (6) lupa caranya menulis, menggambar, biasanya anak kecil kalau sudah tidak terbiasa menggunakan tangannya untuk belajar akan lupa.” Kata Sri Wahyu istri Widodo. Fani cucu Sediyo tersipu malu dibalik jaket baju ayahnya.
Sejak pagi, keluarga ini hanya duduk – duduk memandangi rumah mereka. Atap – atap bolong seolah membingkai birunya langit, jendela rumah hancur sehingga tidak perlu membukanya untuk melihat pemandangan diluar sana, peralatan dapur dimasak awan panas hingga berjelaga, lantai tergenang beningnya air hujan hingga bisa berkaca didalamnya. Jangan menginjak genangan airnya, karena beriaknya membutuhkan waktu untuk tenang kembali. Kakek mengajak ke belakang rumah dimana ada gundukan pasir yang dikerumuni lalat hijau. “Itu sapinya disitu, mati.” Kata Sediyo sambil tersenyum. Kami tidak becakap – cakap selama didalam rumah. Lidah saya kelu, kaki dan tangan saya gemetar. Bagaimana bisa kakek masih tersenyum lebar dan begitu tegar.
Setelah menilik keadaan rumah kakek yang didalam, kami duduk di teras. Kakek menyulut batang rokok dan kemudian saya menyimak kalimat lengkap selain ‘ndak’ dan ‘ndak tau’ “Merapi iku mung kala – kala, ndak tiap hari.” (“Merapi itu kadang – kadang begitu, tidak setiap hari”). Terbersit pesan bahwa kita tidak perlu meratapi penderitaan yang tidak setiap hari. Kakek Sediyo percaya warisan kepercayaan sejak dahulu kala, ditempat dia bersahabat dengan Merapi sejak kecil. Merapi sedang duwe gawe membagikan sedekah kemakmuran bagi yang hidup di lerengnya, tidak ada yang perlu dirisaukan. Abu vulkanik akan meremajakan tanah setelah lelah dengan pupuk buatan, air yang mengandung material vulkanik terbawa oleh sungai ke saluran irigasi petani akan menyuburkan tanah, dan juga panen untuk mereka para penambang tradisional di Bantaran Kaliworo, Klaten.
Kabut yang mengerudungi Merapi menggantung berwarna kelabu. Mungkin akan segera turun hujan. Sri Wahyu anak kakek Sediyo meneriaki saya dari bawah, “Mbak, simbah agak – agak ….”, kata Sri sambil memegangi telinganya. Saya tersenyum geli, kakek agak berkurang pendengarannya. Pertanyaan saya diawal tadi, tentang keadaan kakek semua dijawab ‘ndak’ dan ‘ndak tau’ ternyata….?? Tuhan adil, bahwa tidak semua umatnya boleh mendengar pertanyaan tentang penderitaan. Kakek akan hanyut dalam memori masa lalu dan bisa membuatnya semakin sedih. Atau mungkin saya yang dihiburkek Sediyo? Karena sayalah yang tidak sanggup menerima kenyataan apa yang dialami mereka. Si kakek tersenyum di teras rumah melihat kamera yang yang mengarah kewajahnya.