Pernah menonton film true story berjudul ‘Door to door’? Kisah nyata dari Bill Porter sangat menyentuh karena keterbatasannya sebagai penderita Cerebral Palsy atau Layuh Otak. Bill Porter, hampir tidak bisa menggerakan tangan kananya. Ahli medis menduga ia mengalami keterbelakangan mental dan menyarankan kepada orangtuanya untuk memasukkannya ke dalam rumah sakit mental. Orang tuanya menolak dan mendorong Bill untuk hidup mandiri hingga menyelesaikan sekolah menengah. Bill berkali – kali mengalami penolakan dari perusahaan tempat dia melamar. Hampir tidak pernah lebih dari 7 hari bekerja, Bill dinyatakan tidak dapat dipekerjakan. Bill bersikeras tidak ingin mendapat tunjangan dari pemerintah sebagai orang tidak mampu. Akhirnya Bill mendapatkan kesempatan bekerja untuk Watkins-perusahaan di US setelah berhasil meyakinkan sang direktur. Bill menjual produk rumah tangga dari pintu ke pintu di sebuah wilayah yang hampir tidak ada orang mau membelinya. Pada akhirnya Bill memutuskan bidang penjualan adalah karirnya. Kegigihan Bill dalam bekerja di Watkins Company membuktikan bahwa difabilitas bukan halangan untuknya. Dia mampu menaklukan wilayah tersebut dan mendapat pelanggan. Bill bekerja hingga usia 70 tahun di perusahaan Watskin dan mendapat julukan “The Watskin Man”, dan pernah mendapat kesempatan menjual barang-barang rumah tangga untuk mengumpulkan dana bagi United Cerebral Palsy.
Seperti Bill Porter, Sutrisno adalah seorang mitra KARINAKAS yang hidup dalam garis keterbatasan. Difabilitasnya sebagai penyandang Spinal Cord Injury (SCI) membuatnya harus duduk di kursi roda. Tak patah arang, berbagai hal dicobanya untuk bertahan hidup. Banyak orang memandang difabel sebelah mata akan keterbatasannya. Sutrisno berbagi kisahnya dengan KARINAKAS, dia menuturkan dari awal hidup sebagai SCI dan bahkan mampu menjadi inspirasi dan pembuktian akan kegigihannya.
Trimex Hidup menjadi difabel (different able people)
Sutrisno (27) akrab dipanggil Trimex, lahir di Klaten. Trimex sudah mencoba menjadi salesman sejak usia yang tergolong muda. Alat- alat peraga untuk TK dijualnya ke Jakarta. Kehidupan yang dijalaninya normal seperti anak muda kebanyakan, mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri. Namun, siapa sangka kehidupan harus berubah seratus delapan puluh derajad. Gempa DIY Mei 2006, membuatnya harus berada di kursi roda sepanjang hidup. Trimex tidak pernah mempunyai gambaran sebagai penyandang Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera tulang belakang, perasaan sedih dan tidak ada harapan terus menjadi mimpi buruk.
Dipandang Sebelah Mata
Sebagai difabel, tentunya menjadikan Trimek sebagai orang yang tersingkir. Ditengah perjuangannya membangun kepercayaan diri untuk menerima kenyataan, banyak orang memandang sebelah mata terhadap keterbatasannya. Kisah asmara saya selalu ditolak oleh orang tua yang tidak menginginkan anaknya berpacaran dengan seseorang yang berbeda. “Saya dipandang tidak mampu untuk mencari nafkah.” Kadang kala orang lain juga membuatnya tersinggung dengan memberinya uang receh saat berdagang. Barang dagangan Trimex seringkali diparkir diluar saat sedang menawarkan produknya. “Saya kembalikan uang yang mereka beri. Perasaan saya sedih dan tersinggung, kenapa banyak orang menyepelekan difabel. Jangan dipandang difabel hanya bisa minta-minta. Banyak difabel sukses dan termasuk saya sedang berusaha menjadi pedagang.”
Berkenalan dengan KARINAKAS
KARINAKAS mengadakan pendataan di RS.Ortopedi Prof. DR. R Soeharso Solo. Awalnya Trimex belum mau bergabung, perasaan minder menyelimuti benaknya. Selama lima bulan pertama menjadi penyandang SCI atau warga difabel, Trimex belum bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Mandi, buang air besar, makan, minum masih dilayani dan dibantu oleh neneknya. Kateter juga masih digunakan untuk buang air kecil. Selama dua tahun Trimex sama sekali tidak produktif. Tahun 2008, pertama kali dia belajar untuk mengendarai motor aksesibel milik KARINAKAS. Lalu timbul motivasi, jika dia bisa mempunyai motor aksesibel sendiri pastinya akan membantunya untuk beraktifitas dan mencari penghasilan sendiri.
Kendala usaha
Pahit manis dalam kehidupan pasti akan selalu ada, Trimex dalam membangun karirnya sebagai salesman mengalami kendala yang menghalangi usahanya. Banyak tempat saat dia akan mempromosikan produk harus melewati tempat-tempat yang tidak aksesibel. Misalnya saja harus melewati pagar besar di perkantoran, kursi rodanya terhambat untuk melewatinya. Kadang kala satpam yang berjaga mengusirnya. “Saya pernah membohongi satpam, saya ingin diperlakukan seperti tamu yang lain. Saya mengaku suruhan orang untuk mengantarkan sejumlah uang. Hal itu saya lakukan untuk kebaikan satpam juga, supaya menghargai tamu dan juga punya sopan santun kepada orang lain.” Kata Trimex sambil tertawa. Saat ini, Trimex belajar membuat proposal penawarkan ke perusahaan-perusahaan atas permintaan agar mempunyai konsumen tetap dan dilakukan secara profesional.
Berusaha Bangkit
Trimex berusaha untuk bangkit, berbagai usaha dilakoninya mulai dari buka toko kelontong, dan buka sewa Play Station. Namun usaha tersebut bangkrut dan tidak sesuai dengan keinginannya. Memutuskan untuk berdagang alat rumah tangga dijalani dengan modal 100 ribu rupiah, hanya sedikit item yang dijual. Sapu dan sulak adalah yang dijual pertama kali bersama temannya yang menganggur dan mempunyai kendaraan sendiri. Lambat laun Trimek menjadi bergantung dengan temannya, timbul keinginan dia mempunyai motor aksesibel yang dimodifikasi oleh bengkel ‘Bangkit’ sebagai sarana untuk keliling menawarkan dagangan.
Setelah motor aksesibel miliknya selesai digarap, Trimek mulai termotivasi mengambil barang di distributor yang menawarkan harga alat-alat rumah tangga murah. Dengan modal pinjaman dari ‘Koperasi Karya Bakti Difabel’, Trimek mulai mengembangkan strategi pemasarannya. Membuat kartu nama, melobby toko-toko, perusahaan, hingga sekolah-sekolah di wilayah Sukoharjo dan Klaten. Omset penjualan yang cenderung naik membuatnya menjadi rebutan para distributor dan produk yang dijual kini mulai beragam. Usaha dibawah nama DWI KARYA akan dikembangkannya dan impiannya adalah menjadi salesman sukses.
“Saya mampu bersaing dengan pedagang lain. Kadang harga saya miringkan sedikit dan mengambil keuntungan sedikit terlebih dahulu. Kejujuran adalah hal yang utama dalam berdagang. Kalau kualitas produk kurang bagus saya jujur mengatakannya dan merekomendasikan produk dengan kualitas diatasnya. Kepercayaan menjadi modal utama saya.” Kata Trimek percaya diri.
Meski pada awalnya banyak toko, sekolah, dan perusahaan yang menolak produk dagangannya, Trimex mempunyai keyakinan. “Diantara kata ‘tidak, tidak dan tidak’ akan ada satu kaya ‘ya’ saat kita menawarkan sesuatu.” Katanya mengungkapkan pengalaman berdagang.
Menjadi motivator untuk difabel
Peran masyarakat pada difabel sangat penting untuk memberikan pengaruh yang baik pada difabel. Trimex mempunyai seorang teman yang bekerja sebagai polisi. Temannya banyak memotivasinya supaya dia bangkit dan memperlakukannya seperti biasa saja. “Teman saya sering mengenalkan saya pada cewek-cewek, agar saya tidak minder. Dari situ saya berfikir, bahwa ketika orang lain ingin menerima keberadaan saya sebagai difabel, tentunya saya harus membuka diri pada orang lain untuk bersahabat dengan mereka. Tidak perlu merasa rendah diri, justru dengan bergaul akan memberi banyak inspirasi.” Kata Trimex bangga.
“Saya ingin difabel lainnya bisa sukses. Tentunya saya harus mampu membutikannya terlebih dahulu, sehingga mereka dapat melihat kalau difabel pun mempunyai kesempatan untuk sukses seperti orang lain.” Trimex mengakhiri kisahnya.