Pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, baik fisik maupun psikologi. Hal ini merupakan kesempurnaan yang dirahmatkan oleh Tuhan kepada setiap manusia sebagai sarana untuk menghadapi tantangan dan rintangan dalam hidupnya, agar manusia bisa saling berinteraksi secara individu maupun berkelompok, untuk membangun kehidupan yang terpadu, harmonis, dan dinamis. Namun pada kenyataannya, yg terjadi kehidupan manusia selalu dibaluti dengan perspektif atau cara pandang terhadap sesamanya yang berbeda-beda. Dan cara pandang tersebut lebih banyak ditujukan kepada kelompok minoritas yang ada di masyarakat. Salah satu contohnya yaitu yang dialami oleh penyandang cacat atau difabel. Istilah penyandang cacat atau difabel ternyata merupakan sumber terjadinya proses diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang mendapat sebutan penyandang cacat atau difabel. Istilah penyandang cacat atau difabel sebenarnya hanya merupakan sebutan yang dihasilkan oleh proses bias berpikir manusia itu sendiri.
Proses diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel tersebut, terjadi di segala aspek kehidupan dan penghidupan, misalnya di bidang peribadatan, pendidikan, pekerjaan, peran politik, perlindungan hukum, informasi dan komunikasi, aksesibilitas menggunakan fasilitas umum, layanan sosial dan kesehatan serta pengembangan budaya.
Karena proses diskriminasi itulah maka, penyandang cacat atau difabel selalu mengalami hambatan-hambatan dalam kehidupan sehari-hari. Ada 3 hambatan yang dialami oleh difabel yaitu : kurang tersedianya sarana mobilitas seperti kursi roda, kruk untuk orang yang mengalami cacat kaki, tongkat putih dan huruf braille untuk orang tunanetra, alat bantu dengar dan bahasa isyarat untuk orang yang lemah pendengaran/tunarungu dan lain sebagainya. Hambatan yang kedua adalah, bangunan atau jalan yang tidak memiliki kemudahan bagi difabel seperti bangunan yang tidak memiliki ramp, ataupun jalan yang tidak dilengkapi dengan guiding blok untuk difabel tunanetra. Hambatan yang ketiga adalah, sikap dari masyarakat yang tidak memberikan kesempatan kepada difabel untuk mengakses apa yang menjadi kebutuhannya sebagai warga negara seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Untuk memberikan kesempatan bagi difabel dalam berinteraksi di masyarakat maka, perlu adanya kemudahan-kemudahan yang harus disediakan baik secara fisik dan non fisik. Kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat atau difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, itulah yang disebut dengan aksesibilitas.
Aksesibilitas terbagi atas dua yaitu aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu berupa : aksesibilitas pada bangunan umum ; aksesibilitas pada jalan umum; aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum; aksesibilitas pada angkutan umum. Sedangkan aksesibilitas non fisik itu berupa : pelayanan informasi dan pelayanan umum. Aksesibilitas fisik seperti di kantor-kantor yang sekarang ini masih saja belum memberikan kemudahan bagi difabel, karena tidak adanya ramp bagi difabel yang menggunakan kursi roda. Bahkan ada ramp yang disediakan tetapi ternyata tidak bisa diakses karena kondisi ramp yang curang, dan hal ini sudah tentu membahayakan bagi difabel ketika akan mengaksesnya. Disamping itu masih kurangnya aksesibilitas bagi difabel tunanetra di pusat layanan publik seperti di rumah sakit, bank dan sebagainya. Karena sebagian besar informasi tentang nama-nama ruangan atau loket, hanya diberi tulisan saja tanpa ada petunjuk melalui suara. Sebenarnya ada juga aksesibilitas fisik yang sudah disediakan oleh Pemerintah, tetapi fasilitas itu kemudian disalah gunakan oleh masyarakat, seperti yang kita bisa lihat di area Malioboro, ada guiding block yang disediakan bagi difabel tunanetra tetapi fasilitas itu kemudian tidak dihiraukan dan malah ini dipakai sebagai lahan parkir dan lesehan bagi penjaja makanan.
Dalam aspek aksesibilitas non fisik, banyak kasus yang kita temui, salah satu contoh yaitu ada salah satu syarat untuk menjadi CPNS yaitu harus sehat jasmani. Ini mengisyaratkan bahwa difabel akan sulit lolos dalam seleksi CPNS. Walaupun memang akhir-akhir ini sudah ada advokasi yang dilakukan untuk menghapus syarat tersebut. Hal yang lain juga dari aksesibiitas non fisik yaitu adanya sikap masyarakat yang masih menutup kesempatan bagi difabel untuk berkarya dan mengembangkan potensi dalam kehidupannya.
Aksesibilitas fisik dan non fisik bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisah-pisahkan karena jika satu sisi mata uang itu tidak bergambar maka uang tersebut tidak akan dapat di belanjakan. Untuk itu memang kedua hal ini harus bersama-sama diterapkan jika kita ingin memberdayakan difabel.
Adapun landasan hukum tentang kesejahteraan penyandang cacat dan penyediaan aksesibilitas di Indonesia yaitu UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan, UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Dari implementasinya dari kebijakan-kebijakan diatas, harus diakui belum begitu maksimal. Namu kita perlu perjuangkan terus dari saat ini, sehingga suatu saat nanti akan tercipta sistem pemerintahan di negara kita yang adil dan beradab, tata kota dan sarananya yang benar-benar mendekati kemuliaan umat, yaitu bisa dinikmati oleh semua orang termasuk di antaranya yang disebut sebagai penyandang cacat atau difabel. Ataukah kita harus menunggu sampai bangsa Indonesia menjadi penyandang cacat atau difabel semua? Lalu kita mengadakan aksesibilitas. Jadi jelas di sini bahwa penyediaan aksesibilitas sudah merupakan kebutuhan untuk semua. Accessibility for all !
Penulis : Karel Tuhehay