Belarasa untuk survivors Merapi (29/11) dilakukan KARINAKAS bersama Dinamika Edukasi Dasar (DED), kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi beban psikologis anak – anak selama mereka mengungsi. Menurut keterangan Happy Wijayanti guru SD Tarakanita Tritis, anak – anak yang mengungsi cenderung hiperaktif dan sulit diatur dan murid yang cenderung pendiam menjadi semakin pendiam.  Kondisi psikologis anak – anak selama mengungsi  sehingga mempengaruhi perilaku anak- anak sejak mereka tinggal di barak pengungsian.

Pendampingan psikososial  DED dan KARINAKAS kali ini ada di Rumah Relokasi Turgo Sudimoro Purwobinangun Pakem Sleman. Pendampingan dilakukan untuk anak-anak SD Tarakanita Tritis Purwobinangun Pakem Sleman, mereka yang masih duduk di SD ada 81 anak dan TK 15 anak.

kondisi Alvian pada 15 Mei 2012

Yogyakarta, 15 Mei 2012

Sumini tak akan menyangka bebannya akan menjadi begitu berat sekarang. Ditinggalkan begitu saja oleh pasangan hidupnya, ia sekarang harus berjuang untuk menghidupi tiga anaknya yang masih kecil. Lebih dari itu, si bungsu, Alvian David Triatmaja (1,5), menderita gizi buruk yang disertai dengan hernia dan TB paru

 

difabel terlibat dalam diskusi tentang hukum

Pada 1976, Majelis Umum PBB menyatakan tahun 1981 sebagai Tahun Internasional Penyandang Cacat. Ini disebut untuk rencana aksi di tingkat nasional, regional dan internasional, dengan penekanan pada pemerataan kesempatan, rehabilitasi dan pencegahan kecacatan. Tema IYDP (International Year of Disabled Persons) adalah "partisipasi penuh dan kesetaraan", yang didefinisikan sebagai hak penyandang cacat untuk mengambil bagian secara penuh dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat mereka, menikmati kondisi hidup yang setara dengan warga negara lainnya, dan memiliki bagian yang sama dalam meningkatkan akibat kondisi sosio-ekonomi.

 

Selama lebih dari dua dekade belakangan, beragam upaya untuk mensosialisasikan persoalan yang dihadapi penyandang cacat kepada masyarakat dunia telah diupayakan secara luas. Salah satu tonggak penting dari upaya itu adalah penetapan tahun 1981 sebagai Tahun Penyandang Cacat Sedunia oleh Majelis Umum PBB. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup penyandang cacat yang didasarkan pada prinsip persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Setelah itu, tahun 1982 PBB mengesahkan undang-undang program internasional terkait masalah penyandang cacat. Undang-undang ini sejatinya merupakan pedoman untuk merancang beragam program nasional yang terkait dengan persoalan penyandang cacat di setiap negara.

 

Berikutnya, PBB mencanangkan selang waktu antara tahun 1983 hingga 1992 sebagai Dekade Penyandang Cacat Sedunia. Langkah itu dilakukan untuk meningkatkan peran aktif penyandang cacat dalam kehidupan sosial. Kemudian pada tahun 1993, PBB menyempurnakan undang-undang tahun1982 dengan menambahkan aturan standarisasi bagi persamaan kesempatan penyandang cacat dalam berbagai aspek. Untuk mempertegas komitmen itu, pada Desember 2006 melalui sidang Majelis Umum, PBB mensahkan Konvensi Lengkap Hak-Hak Penyandang Cacat. Seluruh negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut berkewajiban untuk menerapkan beragam kebijakan untuk mendukung hak-hak penyandang cacat dan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap mereka. (Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut, UU ratifikasi konvensi penyandang disabilitas sudah disahkan pada 18 Oktober 2011, palu diketok pada pukul 11:45 oleh pimpinan sidang paripurna DPR RI)


Di penghujung setiap tahun, saat peringatan Hari Penyandang Cacat Sedunia makin dekat, perhatian terhadap kelompok masyarakat cacat juga meningkat. Momentum ini merupakan kesempatan untuk melihat kembali dan menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dari pelbagai aspek. Tahun ini tema yang diangkat dalam Hari Penyandang Cacat Sedunia adalah "Memberdayakan Penyandang Cacat". Tema tersebut sengaja dipilih sebagai upaya untuk program internasional PBB yaitu Tujuan Pembangunan Millenium Ketiga atau yang dikenal dengan istilah Millennium Development Goals (MDGs).

 

Kendati sudah banyak negara yang telah mengadopsi undang-undang internasional penyandang cacat, namun implementasi aturan tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan terutama di kalangan negara-negara dunia ketiga. Hingga kini masih banyak penyandang cacat di negara-negara berkembang yang tidak bisa berperan aktif secara luas di lingkungan sosialnya. Selama ini meski mereka memiliki kemampuan yang memadai, namun tetap saja dikucilkan. Padahal persoalan yang dihadapi penyandang cacat bukan hanya terkait dengan dengan pribadi mereka sendiri, tapi juga masyarakat. Karena itu, semua kalangan harus mengupayakan terwujudnya situasi yang kondusif sehingga seluruh penyandang cacat bisa memperoleh hak-haknya dan kesempatan yang sama.

 

Selain itu tetap memberikan penghormatan dan posisi yang layak, masyarakat juga dituntut memberikan kesempatan bagi penyandang cacat untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas mereka serta memanfaatkannya untuk memberdayakan masyarakat.


Sejatinya, realisasi Tujuan Pembangunan Millenium Ketiga memerlukan peran serta penyandang cacat dan pemanfaatan potensi dan kemampuan mereka. Mewujudkan keadaan yang kondusif dan memperhatikan hak-hak penyandang cacat merupakan sebagian kecil dari tanggung jawab sosial dan moral kita sebagai anggota masyarakat.

 


-dari berbagai sumber-

Yanuar, Angga

 

 

 

Yogyakarta, 1 Desember 2011

Suasana Acara Lokakarya
Pusat Studi HAM dan Demokrasi (PSHD) Universitas Atmajaya, Forum Peduli Difabel Bantul (FPDB), KARINAKAS menggelar Lokakarya Draft Peraturan Bupati Bantul tentang Difabel pada 1 Desember 2011 di Hotel Ruba Graha, Jl, Mangkuyudan 1 Yogyakarta. Acara ini menjadi sarana untuk mendapatkan usulan terkait dengan draft Peraturan Bupati tentang Difabel yang akan menjadi landasan hukum pelaksanaan Perda Bantul No 1 tahun 2011. Perda tersebut mengatur Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

 

KARINAKAS bekerjasama dengan distributor peralatan rumah tangga Agen Pelangi milik Budiman, Klaten memberikan pelatihan pembuatan alat pel untuk difabel dan juga kader – kader desa yang mendampingi.

Vocational training ini diharapkan dapat memberikan peluang mata pencaharian untuk difabel di Klaten yang rata – rata adalah tuna daksa dan mental. Pelatihan ini dapat memotivasi difabel untuk mengembangkan potensi dan juga memberikan jaringan untuk livelihood.

Kamis, 20 Oktober 2011, bertempat di Balaidesa Ceporan, Gantiwarno, Klaten, pelatihan dibuka oleh sambutan Kepala Desa Ceporan, Suyoto. Beliau menyampaikan harapan “Setelah melaksanakan pelatihan ini, semoga nantinya difabel dapat memenuhi kebutuhannya, mempunyai penghasilan sendiri, lebih berdaya, dan tidak menganggur.” Beliau juga berterimakasih kepada relawan dan kader – kader yang sudah ikhlas lahir bathin mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Harapannya, relawan dan kader dapat memberikan atau menyampaikan pelatihan ini pada pertemuan di desa masing – masing yang diundang.

Pelatihan ini diberikan untuk memberikan semangat kepada difabel agar berdaya.  Agen Pelangi sendiri mempunyai target omset perhari minimal produksi 5000 alat pel sehari. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Self Help Group (SHG) untuk memberikan kegiatan matapencaharian difabel yang berminat mengerjakan produksi alat pel yang tergolong mudah untuk dikerjakan, sehingga difabel tidak begitu kesulitan mengerjakan. Sutrisno (pedagang alat rumah tangga yang difabel) akan mengambil ke rumah – rumah difabel yang memproduksi alat pel. Setelah itu, Agen Pelangi akan menjual alat pel tersebut, namun jika difabel mempunyai pasar sendiri mereka pun boleh menjual ke tempat lain. Selain memberikan peluang, pelatihan ini membuka jaringan yang mudah untuk pasaran alat pel tersebut. Setidaknya ada satu agen yang sudah mau menampung alat pel yang diproduksi oleh difabel.




 

 

 

Kajian Ancaman Masyarakat Serut

 

Tiga dusun dampingan Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) KARINAKAS melakukan kajian Ancaman secara pertisipatif. Peserta yang ikut dalam kajian Ancaman berasal dari pedukuhan Kayoman, Wangon dan Dawung – Serut - Wonosari - Gunung Kidul. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk menggali ingatan warga dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ancaman di daerahnya. Mereka mencoba berdiskusi untuk melihat karakteristik bencana  dan mengungkapkan permasalahan di Serut.

 

Mayoritas dari peserta mengungkapkan bahwa kekeringan menduduki peringkat nomor satu didaerahnya. Warga menambahkan bahwa penyebabnya adalah kemarau yang panjang, kebutuhan air yang meningkat, faktor alam, tanah yang gundul dan juga penampungan air yang sangat minim tersedia.

 

Ancaman inilah yang nantinya menyebabkan tanaman tidak tumbuh dan hasil panen yang sedikit. Kekeringan kerap kali memicu perekonomian warga terhambat karena mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Kemudian menjadi sebuah mata rantai yang saling berkaitan dengan kelaparan, gizi buruk balita dan menjadi sumber penyakit.

Muncul gagasan warga untuk bersama – sama memecahkan masalah tersebut secara berkelompok. Rekomendasi warga adalah penghematan air, reboisasi, membuat penampungan air, penyuluhan kesehatan, pengetahuan P3K dan juga membuat kelompok siap siaga.

 

Serut (07/10), Penyuluhan Kesehatan yang dilaksanakan oleh Masyarakat Serut bekerjasama dengan Puskesmas Watu Gajah dan KARINAKAS merupakan rencana aksi yang diperoleh dari kajian – kajian kebencanaan yang telah dilakukan secara partisipatif. Sekitar 97 masyarakat dari tiga dusun memnuhi Balai Dusun Wangon, mereka berasal dari warga dusun Wangon, Dawung dan Serut.

Penyuluhan kesehatan dan sanitasi merupakan sebuah penguatan kapasitas masyarakat akan ancaman kekeringan yang kerap terjadi di area dampingan pengurangan risiko bencana KARINAKAS. Kekeringan tersebut akan menimbulkan penyakit dan banyak masalah untuk kelompok rentan. Kelompok rentan yang ada di wilayah tersebut mayoritas adalah petani. Kelompok rentan berikutnya adalah balita dan ibu hamil.
 

 

Dalam sebuah kesempatan berjalan-jalan di Gua Ceremay (perbatasan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Wonosari) saya menikmati hamparan bebatuan kapur di sebuah hamparan tanah perbukitan. Tanaman jati menjadi penghias utama di atas lapisan tanah tipis yang kering. Tanaman jati itu tetap hijau daunnya kendati tanah sungguh coklat dan keras karena keringnya.

 

Di jalan jelang bibir Gua Ceremay, terdapat satu dua warung yang menjual minuman dan gorengan. Di warung inilah saya mendengarkan sebuah kisah yang bertutur bahwa penduduk setempat yakin akan mati jika mengambil jati yang ditanam di tanah warga ketimbang mengambil jati yang ditanam oleh pemerintah. Lho kok bisa? Mengambil jati milik warga, boleh dikata, adalah pantangan yang tidak boleh dilanggar dan jati pemerintah boleh diambil. Padahal, jati milik pemerintah berarti milik negara yang artinya warga pun memilikinya.

 

Lain kisah adalah cerita sebuah pohon besar yang konon berpenghuni ‘bangsa halus’ sehingga tempat tersebut menjadi angker. Tak ada manusia yang berani memotongnya. Bahkan, manakala senja sudah tiba, jika ada yang berani lewat di depannya pun sambil merapal doa. Akhirnya, pohon tersebut tetap lestari sehingga sumber air yang ada di bawahnya pun tetap terjaga.

 

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com