Waktu itu sudah satu minggu Merapi bergejolak, namun dampak itu belum begitu terasa di Boyolali, meskipun setiap malam warga di sekitar Telogolele dan Klakah sudah mengungsi di rumah-rumah penduduk  di Jrakah dan Selo atau di tenda-tenda penyintasan yang didirikan oleh Pemda Boyolali. Dewan Paroki atau Gereja Boyolali belum melakukan langkah-langkah untuk menanggapi situasi ini. Semakin hari semakin tidak menentu situasinya. Karena belum ada kejelasan koordinasi untuk  bergerak, sebagian dari umat melakukan aksi solidaritas mereka melalui komunitas-komunitas sosial maupun kantor mereka masing-masing.

Situasi ini membuat “resah” seorang ibu yang merupakan salah satu anggota Tim Karikatif dan Tim APP. Mulailah beliau mencoba  mendekati teman-teman dengan bekal pertanyaan ” Apakah kita akan tinggal diam dengan situasi bencana seperti ini ?”. Penggalangan dana mulai dilakukan. Lalu, mulailah pendistribusian bantuan berupa nasi bungkus dengan kendaraan pinjaman dari umat yang tergerak hatinya untuk melayani. Penyebaran informasi dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan SMS, email, facebook, dan web site. Bantuan  mengalir berasal dari berbagai pihak, tidak terbatas dari umat Paroki Boyolali saja, tetapi dari berbagai daerah dan masyarakat umum, juga terbuka untuk melayani penyintas yang meminta bantuan.

Kondisi darurat dimaknai sebagai suatu kondisi ketika masyarakat dan pemerintah yang terkena dampak bencana  tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa bantuan dari pihak luar. Oleh karena itu, banyak pihak luar (baik dari dalam maupun luar negeri) yang membantu saat terjadi bencana alam di berbagai tempat di tanah air. Misalnya, Tsunami di Aceh, Gempa di DIY dan Jawa Tengah, juga  Erupsi Merapi 2010.

Tahun 2005, berdasarkan hasil evaluasi program kemanusian untuk tanggap darurat Tsunami di beberapa Negara dirasa perlu adanya upaya –upaya untuk lebih meningkatkan lagi kualitas program kemanusiaan agar mampu memberi dampak yang lebih terhadap yang diberi bantuan. Untuk itu, lembaga-lembaga kemanusiaan dunia mengembangkan tiga program (Tiga Pilar) untuk melakukan reformasi program kemanusian (Humanitarian Reformation Program/HRP) yang bertujuan meningkatkan dampak bantuan kemanusian terhadap masyarakat yang terkena dampak  bencana.

Pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, baik fisik maupun psikologi. Hal ini merupakan kesempurnaan yang dirahmatkan oleh Tuhan kepada setiap manusia sebagai sarana untuk menghadapi tantangan dan rintangan dalam hidupnya, agar manusia bisa saling berinteraksi secara individu maupun berkelompok, untuk membangun kehidupan yang terpadu, harmonis, dan dinamis. Namun pada kenyataannya, yg terjadi kehidupan manusia selalu dibaluti dengan perspektif atau cara pandang terhadap sesamanya yang berbeda-beda. Dan cara pandang tersebut lebih banyak ditujukan kepada kelompok minoritas yang ada di masyarakat. Salah satu contohnya yaitu yang dialami oleh penyandang cacat atau difabel. Istilah penyandang cacat atau difabel ternyata merupakan sumber terjadinya proses diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang mendapat sebutan penyandang cacat atau difabel. Istilah penyandang cacat atau difabel sebenarnya hanya merupakan sebutan yang dihasilkan oleh proses bias berpikir manusia itu sendiri.

 

Proses diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel tersebut, terjadi di segala aspek kehidupan dan penghidupan, misalnya di bidang peribadatan, pendidikan, pekerjaan, peran politik, perlindungan hukum, informasi dan komunikasi, aksesibilitas menggunakan fasilitas umum, layanan sosial dan kesehatan serta pengembangan budaya.

 

 

PENGENALAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA OLEH MASYARAKAT (PRBOM) DAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K)

 

Kegiatan Pengenalan Pengurangan Risiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM) dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) yang berlangsung di minggu kedua bulan Oktober (10/10) dihadiri oleh anggota Paguyuban “Jaga Bebaya” dan perwakilan organisasi masyarakat Desa Guwosari. Kegiatan yang berlangsung di setiap hari Minggu di Bulan Oktober ini diselenggarakan sebagai peringatan Bulan Kebencanaan Sedunia.

Ipah anggota Paguyuban Jaga Bebaya yang ditemui pagi itu bercerita bahwa sudah dilakukan kajian-kajian ancaman di wilayah Desa Guwosari pada setiap hari Rabu di tiap minggunya mengenai ancaman di wilayah tersebut. “Bencana tidak bisa dihindari dan dideteksi, jadi kita harus siap-siap menghadapi. Selain gempa, ada ancaman pohon tumbang dan masalah sanitasi.” Kata Ipah.

Tanggal 21-24 September lalu, dijadikan sebagai ajang pertemuan kelompok siaga bencana (KSB) dari wilayah Sragen, Bantul, Boyolali, Gunungkidul, Klaten dan Kulonprogo. Keenam kelompok atau paguyuban itu adalah KARINAKAS Posko Sragen, Tim APP Paroki Boyolali, Paguyuban PRB “Jaga Bebaya” Bantul, KSB “Tri Manunggal” Serut, KSB “Ngudi Rahayu” Nglambur, dan KSB “Songga Bebaya” Pacing. Seperti dalam kisah dunia persilatan, mereka berkumpul untuk unjuk keahlian dan kemampuan dalam mengelola kesiapsiagaan tanggap darurat. Pengalaman mereka dalam menghadapi situasi kebencanaan dibagikan dan disimpulkan menjadi sebuah pembelajaran bersama.


Selain berbagi pengalaman dari masing-masing wilayah, pertemuan juga diisi materi Kesiapsiagaan Tanggap Darurat oleh Komunitas, materi Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana, dan materi Pertolongan Pertama Gawat Darurat untuk Awam. Materi disampaikan oleh Yohanes Baskoro (KARINAKAS), Vincentia I. Widyasari (KARINA-KWI) dan Tim PMI Kabupaten Bantul. Seluruh rangkaian pelatihan dan sarasehan ini ditutup dengan kegiatan outdoor untuk memupuk kekompakan dan keakraban antar kelompok KSB dampingan KARINAKAS.



Penulis : Yohanes Baskoro

 

Bencana yang pernah terjadi di sekitar kita, baik karena faktor alam maupun non-alam, tidak memilih korbannya. Para petangguh[1] dapat lolos dari suatu peristiwa catastrophic bukan semata-mata karena keberuntungan. Bisa jadi karena mereka sudah siap untuk menghadapi situasi semacam itu. Bahkan jika melihat manusia sebagai elemen terdampaknya, persiapan dan kesiapsiagaan adalah kegiatan yang mutlak dilakukan. Hal tersebut dapat berperan besar dalam mengurangi bahkan mencegah jatuhnya korban jiwa maupun luka oleh karena suatu bencana. Berbagai macam informasi untuk mengenal dan memahami suatu ancaman, sangat membantu masyarakat dalam menentukan tindakan terhadap situasi bahaya di masa depan.

Informasi tentang kebencanaan yang disampaikan melalui media massa, dengan cepatnya mampu menghadirkan kondisi paling mutakhir dari suatu bencana di tengah-tengah kita. Televisi menjadi sebuah kotak ajaib yang mampu menghadirkan situasi kritis kepada publik sementara pada saat yang sama pemirsa sedang melihatnya sambil menikmati kopi atau duduk santai bersama keluarga. Namun, informasi kebencanaan yang disampaikan kepada publik lebih banyak bertujuan untuk menggugah rasa iba dan kasihan serta hasrat untuk menyumbangkan dana ke rekening-rekening yang sudah disiapkan. Sementara informasi tentang bagaimana memupuk kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya persiapan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi mara bahaya masih sangat kurang.

 

Idiom becik ketitik ala ketara, yang baik pasti ketahuan dan yang jahat pasti terlihat, merupakan pengakuan sosial terhadap kebenaran hukum sebab akibat. Penghayatan atas idiom populer ini memudahkan serta mendorong seseorang untuk berbuat transparan dalam manajemen. Tanpa ada kontrol secara langsung, pihak-pihak yang akan melakukan pelanggaran pasti hatinya gelisah. Suara hatinya mencegah untuk berbuat yang kurang terpuji. Meskipun orang lain tidak mengetahui, tetapi hati sanubarinya tidak dapat ditipu. Maka dengan sendirinya niat baiklah yang akan dimenangkan serta dipraktekkan.[1]

 

Becik ketitik, ala ketara bisa diartikan sebagai baik atau buruk perbuatan pada akhirnya akan terungkap juga. Becik ketitik berarti bahwa hal yang baik (pasti) akan ditengarai. Sedangkan ala ketara, mempunyai arti ketidak-baikan pasti kelihatan, entah bagaimanapun hal tersebut disembunyikan dan atau dimanipulasi.

Bertempat di Gedung Serbaguna Kelurahan Canden Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul (29/10), Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) KARINAKAS mengundang perwakilan difabel, orang tua ABK, dan pemerintah desa untuk pelatihan manajemen keuangan dan usaha kecil di Bantul. Sudah ada beberapa difabel yang menjalankan usaha kecil di rumah seperti berjualan makanan, warung kelontong dan usaha lainnya dan perlu ditingkatkan manajemen ekonominya.

Dalam pertemuan ini, Bapak Mahmud Al Harisi (Konsultan PNPM Kabupaten Kulon Progo) yang menjadi pembicara memberikan materi dengan harapan dapat diterapkan pada keluarga dan aktivitas produktif difabel. Paparan materi mengenai Manajemen Keuangan Berbasis Keluarga oleh tenaga ahli Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Pedesaan, menjelaskan neraca rugi-laba dan manajemen arus kas di sesi pertama. Selanjutnya dibahas juga manajemen keuangan yang salah kaprah dalam usaha berbasis rumah tangga, praktik – praktik yang salah di lapangan, dampak negatif dan juga pemecahan tantangan tersebut.

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com