Program pendampingan Pengurangan Risiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM) akan mendampingi wilayah baru di Kulonprogo, Klaten dan Gunung Kidul, setelah selesai mendampingi wilayah sebelumnya di Sragen, Bantul dan Magelang. Program tersebut dimulai dengan pelatihan dasar PRBOM pada 24-27 Mei 2011 bertempat di Pusat Pelatihan “Disaster Oasis” Pakem, Sleman.

Peserta yang hadir adalah 30 orang yang terdiri dari wakil komunitas di Desa Pacing, Klaten, Desa Serut, Gunungkidul, Desa Sidoharjo, Kulonprogo, Paroki Boro, Paroki Promasan, Paroki Wedi, dan Paroki Boyolali. Mereka nantinya yang akan menjadi pegiat PRBOM di wilayah masing-masing. Hadir pula fasilitator lokal Paroki Sragen  dan Paguyuban Jaga Bebaya Bantul dalam pelatihan ini yang sudah pernah diberi pelatihan ini sebelumnya pendampingan PRBOM di wilayah mereka bersama dengan KARINAKAS.

Masa kanak-kanak biasanya dilewati dengan keceriaan, namun tidak bagi Wakiyem. Single yang lahir 45 tahun silam mengurung diri sejak kecelakaan saat bermain bersama teman-teman terjadi. Wakiyem terpeleset, tulang pinggul dan kakinya patah. Bukan dibawa kepada dokter karena terbentur biaya, Orang tua Wakiyem memanggil dukun pijat terkenal didesa. Sejak bencana itu datang, keceriaan masa kanak-kanak seakan direnggut. Rasa malu kepada teman – teman telah membuatnya mengurung diri dan tidak mau bergaul. Wakiyem pun berhenti sekolah sejak kelas 1 SD.

Bertahun – tahun ia lewati menjadi penunggu rumah sang kakak bersama keponakannya. Hari demi hari hanya dilewati dengan termenung di depan rumah saja. Suatu hari di tahun 2010, Pak Sutrisno mengajaknya ikut berkegiatan di Paguyuban Sehati. Sebuah kelompok difabel di desa Kedungwinong merangkulnya untuk berusaha berkembang.

Kata Penyandang Cacat masih akrab di telinga kita dan membuat mereka menjadi manusia yang tersingkir.  Untuk merubah stigma, istilah Penyandang Cacat diganti menjadi Difabel (Different Able People) atau manusia dengan kemampuan berbeda. Istilah difabel mengandung makna yang lebih memanusiakan. Sehingga kita tidak terpaku pada kekurangan yang dimilikinya, namun lebih meninjau kepada kemampuan yang berbeda. Ketersingkiran difabel ini, dirasakan sangat signifikan pada kehidupan sehari-hari. Misalnya untuk mengakses fasilitas umum, lahan pekerjaan yang layak bagi mereka, dan juga pendidikan.

Salah satu contoh konkrit yang terjadi adalah perspektif masyarakat tentang difabel yang pekerjaannya hanya turun ke jalan untuk mendapat belas kasihan orang lain. Hal ini terjadi pada seorang penerima manfaat Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat KARINAKAS, Sutrisno (25) pernah diberi receh oleh seseorang saat dia menawarkan dagangannya di warung.Sutrisno sedang membangun usaha bisnis dagang kebutuhan rumah tangga. Dia mencoba memasarkannya ke warung-warung, sekolah dan lembaga secara grosiran. Hal ini tentunya memberi dampak psikologis bagi Sutrisno yang berjuang untuk memperoleh kepercayaan dan merubah stigma masyarakat tentang difabel.

Pernah menonton film true story berjudul ‘Door to door’? Kisah nyata dari Bill Porter sangat menyentuh karena keterbatasannya sebagai penderita Cerebral Palsy atau Layuh Otak. Bill Porter, hampir tidak bisa menggerakan tangan kananya. Ahli medis menduga ia mengalami keterbelakangan mental dan menyarankan kepada orangtuanya untuk memasukkannya ke dalam rumah sakit mental. Orang tuanya menolak dan mendorong Bill untuk hidup mandiri hingga menyelesaikan sekolah menengah.  Bill berkali – kali mengalami penolakan dari perusahaan tempat dia melamar. Hampir tidak pernah lebih dari 7 hari bekerja, Bill dinyatakan tidak dapat dipekerjakan. Bill bersikeras tidak ingin mendapat tunjangan dari pemerintah sebagai orang tidak mampu. Akhirnya Bill mendapatkan kesempatan bekerja untuk Watkins-perusahaan di US setelah berhasil meyakinkan sang direktur. Bill menjual produk rumah tangga dari pintu ke pintu di sebuah wilayah yang hampir tidak ada orang mau membelinya. Pada akhirnya Bill memutuskan bidang penjualan adalah karirnya. Kegigihan Bill dalam bekerja di Watkins Company membuktikan bahwa difabilitas bukan halangan untuknya. Dia mampu menaklukan wilayah tersebut dan mendapat pelanggan. Bill bekerja hingga usia 70 tahun di perusahaan Watskin dan mendapat julukan “The Watskin Man”, dan pernah mendapat kesempatan menjual barang-barang rumah tangga untuk mengumpulkan dana bagi United Cerebral Palsy.

Gempa 8,9 SR, disusul tsunami di Jepang mencengangkan dunia. Televisi, media cetak, radio dan situs berita online merilis berita bencana tersebut. Kejadian dahsyat terekam secara runtut sejak awal gempa hingga tsunami berhenti. Dibalik duka bencana tersebut, Jepang menerima acungan jempol dari PBB mengenai kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana tersebut. Dalam penderitaan, para korban tertib menerima distribusi logistik dan tidak ada penjarahan.

Cita – cita Program PRB adalah menciptakan masyarakat yang siap siaga seperti negara Jepang dalam menghadapi bencana. Sejak tahun 2009 masyarakat daerah rawan bencana seperti Sragen yang sering terkena luapan air dari Sungai Bengawan Solo. Masyarakat dipersiapkan kapasitasnya untuk mengurangi risiko yang akan diderita bila banjir melanda melalui kajian-kajian kebencanaan yang didampini oleh tim PRB. Serangkaian kegiatan Pelatihan Pengetahuan Dasar (PPGD) Pengurangan Risiko Bencana dan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat bersama dengan relawan Paroki St.Maria di Fatima, Paguyuban Sayuk Rukun menghasilkan sebuah simulasi tanggap darurat bencana Banjir. Kegiatan tersebut (13/03) dilakukan di Waduk Kembangan Kabupaten Sragen. Simulasi akan memberikan gambaran bagaimana komunitas dan masyarakat terampil dalam situasi emergency.

Anak – anak Dusun Mindi, Desa Kadilanggon, Kecamatan Wedi, Jum’at (11/03) berkumpul di Gedung IOM sore pukul 14.00 WIB. KARINAKAS datang untuk berkegiatan bersama anak-anak dalam Komunitas Baca (Komba) Inklusi. Anak-anak dari berbagai latar tingkatan pendidikan dan usia akan didampingi untuk belajar sambil bermain oleh tim edukasi dan medis KARINAKAS.

 

Kegiatan dimulai dengan menyanyi bersama, tangan-tangan kecil saling bertepuk dan kaki bergeser ke kanan dan kekiri.  Dodo, penderita cerebral palsy (CP), meski berada di kursi roda dia turut bertepuk tangan. Raut wajahnya ceria seperti anak-anak yang lain. Sebagai kakak yang baik, dia menyuruh adiknya untuk ikut serta bernyanyi yang saat itu asyik sendiri dengan buku yang dibawa oleh kader. Via mempunyai keterbatasan untuk mendengar dan berbicara juga tidak ketinggalan untuk riang gembira bersama anak-anak.

 

KARINAKAS dan Jaga Bebaya, Dusun Kembanggede, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Minggu (27/02) melakukan rangkaian simulasi tanggap bencana angin kencang. Dalam kajian pengurangan risiko bencana oleh masyarakat, angin kencang sering melanda daerah tersebut. Rangkaian simulasi tersebut merupakan sebuah puncak dari rangkaian pengarusutamaan dan pelatihan-pelatihan pengurangan risiko bencana setelah pendampingan lebih kurang satu tahun. Simulasi dilakukan agar komunitas Jaga Bebaya semakin terampil dalam situasi bencana. Acara tersebut sukses atas kerjasama dengan Pemerintah Desa Guwosari, Kesbangpolimas Bantul, PMI Bantul, Karang Taruna Dipo Ratna Muda Guwosari dan KARINAKAS.

Dalam skenario simulasi tanggap darurat angin kencang, warga semua aktif berperan serta. Adegan tersebut dimulai dari pengamatan tanda-tanda alam yang memberikan peringatan dini dan warga waspada terhadap ancaman angin kencang tersebut. Kemudian seksi informasi dan humas paguyuban Jaga Bebaya memberi peringatan dan himbauan agar warga waspada terhadap bahaya angin kencang, dan menghimbau agar tidak panik dan mereka diharap untuk berlindung di dalam bangunan yang kokoh. Adegan respon dimulai dari warga yang panik berlarian dari lapangan volley menuju ke bangunan kokoh. Kemudian disusul dengan adegan warga yang terluka karena panik dan segera ditolong oleh seksi penolong. Pertolongan pertama pada kecelakaan dilakukan dengan baik, mereka sudah mendapatkan pelatihan dari PMI. P3K yang benar dilakukan agar tidak bertambah parah atau bahkan meninggal.

MENGAPA PEMBERDAYAAN 

Pikiran cerdas dan berani selalu dibutuhkan oleh masyarakat dunia ini. Tujuan mengemukakan pikiran cerdas dan berani adalah, menemukan sistim cara hidup bersama yang makin baik dan menyejahterakan rakyat banyak. Indonesia kalang kabut mendekati amburadul, karena institusi2 tidak menjalankan mandatnya dengan baik (Kejaksaan harus menuntut keadilan, yg terjadi lebih didorong mencari uang. Polisi menjaga keamanan, yg terjadi merekayasa kasus; Pengadilan membuat keputusan adil, yg terjadi putusan didorong uang. Pemimpin agama diharapkan jadi teladan bagi umatnya, yg terjadi lebih mencari ketenaran agar nanti jadi pemimpin politik atau presiden….dll). Indonesia membutuhkan tokoh2/pemimpin yg cerdas dan berani, membela kebenaran, Keadilan, terutama keadilan bagi rakyat marjinal. Yaitu mereka yang kurang beruntung dan hidupnya ada dalam ketergantungan manusia atau kelompok manusia lain.

 

Adalah Peter L.Burger yang berani mengatakan: jaman kita tidak butuh idiologi.Manusia tidak makan idiologi dan idiologi tidak membuat rakyat sejahtera. Dia melihat bagaimana penyimpangan sudah terjadi meluas hingga mengabaikan nilai2 kehidupan. Nilai2 dilupakan, yg diurus hanya soal2 sepele, hal2 tidak penting. Kata2 itu ada kaitannya dengan pernyataan DR.Michael Hollaender, Profesor Universitas Tubingen, Jerman, yang menjadi Konsultan ilmu politik Yayasan SATUNAMA: “Tidak ada partai politik di Indonesia yang memiliki idiologi. Yang ada adalah partai yang mengejar tujuan jangka pendek: kekuasaan. Tidak ada investasi program pendidikan rakyat. Yang ada program2 yg melulu mengejar kekuasaan”

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com