Sartono, di instalasi Biogas yang dikerjakannya (foto: Sr. Huberta, FSGM)
Oleh: Sr. M. Huberta, FSGM
“Semua yang ada di dunia ini sudah berjalan sesuai fungsinya masing-masing. Air hujan ditangkap oleh akar-akar pepohonan. Sehingga ketersediaan air di bumi bisa mencukupi kebutuhan seluruh mahluk. Harusnya kalau semua berjalan dengan semestinya tidak terjadi kekurangan air. Tapi tidak mudah bagi saya bicara tentang keterkaitan antara pohon dan air apalagi jika saya bicara di depan orang-orang tua. Karena apa ? Semua orang jelas menggunakan kayu bakar dan tidak terhitung lagi jumlahnya.” Kisah pria yang akrab dipanggil Sartono ini.
Ia pun mengenang masa kecilnya di mana ia sering bermain ke sumber mata air yang berada tidak jauh dari rumahnya. Apa yang sering dilihat Sartono ketika kecil sekarang tidak tampak lagi. Bahkan saat ini dia pun turut mengalami bagaimana ketika musim kemarau seluruh penduduk desanya mengalami kesulitan air yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sartono berpikir, harus bertindak sesuatu.
Kegelisahan Sartono ini pun terjawab dengan adanya program biogas. Pemahamannya tentang keterkaitan pohon dan air inilah yang membuatnya semakin bersemangat ketika ia mulai mengenal program biogas.
“Jika semua orang di desa ini menggunakan biogas, otomatis akan mengurangi penggunaan kayu bakar, karena selama ini hampir semua warga menggunakan kayu bakar untuk memasak.” tuturnya dengan penuh semangat.
Sartono mengenal biogas ketika ada pelatihan dari pemerintah tentang pembuatan instalasi biogas dengan menggunakan plastik. Dia pun ikut bersama peserta lain untuk melihat secara langsung di Jawa Timur. Tapi melihat biogas menggunakan plastik, Sartono merasa instalasi biogas itu tidak cukup kuat, lagi pula akan tahan berapa lama?
Dari situlah ia bersama dengan rekan yang lain mulai menggagas bagaimana kalau biogas dibuat permanen, tidak mahal kalau menggunakan bahan-bahan yang ada. Sartono membuat biogas ukuran 4 meter kubik. Kemudian kelompok mendapatkan bantuan dari TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) sebesar 30 juta. Mereka menggunakan dana tersebut untuk guliran pembuatan biogas.
Saat KARINAKAS mempunyai program pendampingan masyarakat pasca erupsi merapi, ia pun menggagas bagaimana jika dana tersebut dibuat untuk biogas. Ia pun semakin bersemangat mengembangkan biogas karena sudah lama Sartono memikirkan tentang kondisi air yang semakin parah setiap tahunnya.
Sartono menyadari desanya ada di wilayah tangkapan air. Ia sendiri merasa kesulitan untuk mengatakan bahwa ada ikatan antara air dan pohon kepada para sesepuhnya. Setiap kali ia mencoba untuk mengatakan hal tersebut kepada warga desa yang lain yang jauh di atasnya, selalu saja ada yang berpendapat bahwa merapi menyimpan berjuta kekayaan, batu saja bisa keluar air. Tapi bukankah itu terjadi karena ada akar pohon yang menangkap air hujan, lalu air itu bisa kita nikmati. Ia tidak berharap banyak, ketika masyarakat membuat biogas lantas mereka akan paham dengan ikatan yang kuat antara air dan pohon.
Pada program Biogas yang dilaksanakan KARINAKAS, Sartono menjadi tenaga ahli untuk pembuatan instalasi biogas. Dia sendiri selalu mengajak warga yang membuat biogas untuk terlibat secara aktif karena dia berharap ilmu tentang biogas bisa ditularkan kepada banyak orang. Dan banyak pula yang merasakan manfaatnya.
“Bagi saya, kalau orang lain sudah bisa membuat biogas dengan mandiri, mereka juga akan memahami kesulitan yang mucul kalau itu terjadi kebocoran dan sebagainya.” Ungkapnya
Sartono sadar tidaklah semudah membalikkan telapak tangan ketika ia mengajak orang-orang untuk memiliki kesadaran bahwa penggunaan kayu bakar yang berlebihan akan berakibat pada kekurangan air.
“Biarlah bagian saya hanya mempromosikan bahwa biogas ini baik untuk digunakan. Ketika masyarakat menggunakan biogas, otomatis mereka akan mengurangi konsumsi kayu bakar, sehingga diharapkan ketersediaan air juga akan terjaga” pungkasnya.