Para guru SD di Selo dan Musuk Boyolali berfoto bersama dengan staf KARINAKAS dan fasilitator Perkumpulan Abisatya seusai acara Pemetaan Daerah Bencana di kantor BPBD Boyolali, 2 April 2016 (Foto: Ferry)
Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan bumi, yaitu Eurasia, Pasifik, dan IndoAustralia. Posisi pertemuan itu membuat wilayah Indonesia memiliki kesuburan, kekayaan alam dan mineral di bawah bumi Indonesia. Dengan kondisi bumi yang semakin tua dan perubahan iklim serta cuaca, posisi tersebut membuat kepulauan Indonesia labil, mudah bergeser, dan rawan bencana.
Assessment di Desa Sruni, Musuk, 13 Februari 2016 (Foto: Ferry)
Bencana merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen ancaman dan kerentanan bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko pada komunitas (masyarakat).
Ancaman merupakan kejadian atau peristiwa, gejala alam atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan.
Kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial ekonomi dan lingkungan hidup yang meningkatkan kerawanan suatu komunitas terhadap dampak ancaman bencana.
Peserta dari SD Suroteleng dan SD Samiran sedang membuat peta daerah bencana, kegiatan dilakukan di kantor BPBD Boyolali, 2 April 2016 (Foto: Ferry)
Risiko merupakan suatu peluang dari timbulnya akibat buruk, atau kemungkinan kerugian dalam hal kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan harta benda, gangguan kegiatan mata pencaharian dan ekonomi atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman bencana dan kondisi kerentanan.
Ancaman bencana yang perlu diwaspadai di Boyolali disebabkan oleh 2 hal. Pertama, aspek Geologi berupa letusan gunung Merapi, tanah longsor, dan gempa bumi. Kedua, aspek Hidro Meteorologi berupa banjir, angin putting beliung, serta kekeringan.
Anna dari Perkumpulan Abisatya sedang menjelaskan penyebab dan dampak Perubahan Iklim yang menyebabkan berbagai bencana di kantor BPBD Boyolali, 2 April 2016 (Foto: Ferry)
Sebagian besar desa yang berada di wilayah Kecamatan Musuk dan Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah merupakan desa penyangga yang terletak di lereng Gunung Merapi. Setiap tahun desa-desa yang ada di wilayah ini mengalami kekurangan air secara significan. Setiap musim kemarau warga harus berjuang untuk mendapatkan air bersih. Selain itu potensi bencana yang terdapat di sana adalah angin ribut yang sering terjadi sekitar Bulan Januari-Februari, erupsi Gunung Merapi dan tanah longsor.
Para peserta mendengarkan penjelasan Mia dari perkumpulan Abisatya tentang hasil pemetaan bencana yang segera ditindaklanjuti menjadi kurikulum PRB di kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Boyolali, 9 April 2016 (Foto: Ferry)
Melihat situasi ini, KARINAKAS dalam rangka membangun masyarakat yang resilien melalui program “Building Community Resilien” melakukan pendampingan di 4 desa di sekitar lereng Merapi yaitu Desa Cluntand dan Sruni kecamatan Musuk serta desa Suroteleng dan Samiran kecamatan Selo, agar mereka mampu mengurangi resiko dari ancaman kekeringan baik dengan kekuatan mereka sendiri maupun bantuan eksternal.
Program ini merupakan lanjutan dari pembangunan 96 unit biogas untuk mengurangi penggunaan kayu bakar sehingga diharapkan kelestarian hutan di sekitar lereng Merapi tetap terjaga. Bersama dengan komunitas desa, KARINAKAS melakukan kajian resiko bencana partisipatif dan dari hasil kajian tersebut ditemukan ancaman kekeringan yang terjadi setiap tahun dan terus bertambah.
Peserta mempresentasikan contoh RPP yang akan diimplementasikan di sekolah, dalam pertemuan Pengolahan Modul di kantor Dispora Boyolali, 9 April 2016 (Foto: Ferry)
KARINA-KAS bekerjasama dengan Perkumpulan Abisatya mengambil langkah lanjutan untuk memperkenalkan pengurangan resiko bencana terkait dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan
Isu ini penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat maupun para pemangku kepentingan yang ada di sekitar lereng Merapi. Maka salah satu langkah yang ditempuh melakukan kerjasama dengan pihak guru dan sekolah yang ada di wilayah dampingan KARINAKAS,yang pada gilirannya akan membantu memberikan penyadaran kepada anak – anak dan masyarakat yang lebih luas.
Kegiatan penyusunan modul PRB ini dimulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) bertujuan agar guru mampu memahami konteks pengurangan resiko bencana terkait dengan isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan, mampu membuat Kurikulum Mitigasi Bencana yang sesuai dengan wilayah dampingan KARINAKAS di Kecamatan Selo dan Musuk, memiliki ketrampilan hidup di tengah situasi bencana, serta pada akhirnya sekolah memiliki peta ancaman bencana sekaligus modul untuk pengurangan resiko bencana (PRB).
Penyusunan modul yang dilakukan oleh Anna, Mia, Teguh, Ratri, Nining, dan Agus dari Perkumpulan Abisatya ini diawali dari assesment, pemetaan wilayah bencana pada tingkat desa, pengolahan modul, dan implementasi modul di tingkat sekolah.
Diharapkan modul PRB yang diinisiasi oleh KARINAKAS ini tidak hanya diterapkan untuk kecamatan Musuk dan Selo Boyolali saja namun bisa disebarkan ke berbagai daerah yang memiliki tingkat ancaman bencana yang sama. (Ferry T. Indratno)