Produk produk kewirausahaan yang dihasilkan rekan rekan difabel di kecamatan Karanganom Klaten, dijual dalam acara Launching Inklusi Center Kecamatan karanganom Klaten, April 2016 yang lalu (Foto: Ferry)
Siapa menduga konglomerat dari Meksiko, Carlos Slim, orang terkaya di dunia yang menurut majalah Forbes telah menggeser kedudukan Bill Gates dan Warren Buffet, ternyata sudah mencari uang sejak usia 10 tahun. Tiger Wood pun, pegolf juara dunia, mulai memegang golf sejak usia tiga tahun. Adapun Ir Ciputra telah memulai berwirausaha pada usia menjelang remaja.
Bagi umumnya orang Indonesia, memulai usaha dan menciptakan lapangan kerja sejak dini bukanlah kebiasaan yang lazim dilakukan. Penyebabnya, menurut Agung B Waluyo, Manajer Pendidikan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, selama 350 tahun masa penjajahan sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapat pendidikan yang seharusnya. Kedua, pendidikan kita memiliki orientasi membentuk SDM pencari kerja, bukan pencipta kerja.
Mind set sebagai pencari kerja semakin membuat tingginya angka penganggur di Indonesia. BPS mencatat, sampai Februari 2008, jumlah sarjana menganggur sudah mencapai 1,1 juta orang. Padahal, menurut penelitian, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu menciptakan sekitar 265.000 lapangan kerja baru. Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar 6 persen, hanya tersedia sekitar 1.590.000 lapangan kerja baru. Lulusan sarjana setiap tahunnya lebih dari 300.000 orang.
Akibatnya, banyak terjadi penganggur terdidik. Cerita-cerita ironis bisa didengar. Ada sarjana nuklir yang berjualan es krim atau insinyur pesawat terbang menjadi pemulung. Bahkan, penelitian Prof Payaman J Simanjuntak dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, toga dari 10 tukang ojek di Jakarta adalah sarjana.
Minimnya ”entrepreneur”
Secara etimologis, entrepreneur berasal dari bahasa Perancis, entre (antara) dan prendre (mengambil), yang dipakai untuk menggambarkan orang yang berani mengambil risiko dan memulai yang baru (Serian Wijatno, Pengantar Entrepreneur, Jakarta: 2009). Di Indonesia, entrepreneur bisa ditulis entrepreneur, wirausaha, atau usahawan.
Tingginya pengangguran dan rendahnya kesejahteraan di Indonesia dipengaruhi oleh kecilnya jumlah entrepreneur. Menurut David McClelland, suatu negara akan menjadi makmur apabila memiliki entrepreneur sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduk. Singapura, menurut Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2005, memiliki sebanyak 7,2 persen, sedangkan Amerika Serikat tahun 2007 memiliki 11,5 persen entrepreneur. Indonesia diperkirakan hanya 400.000 orang yang tercatat menjadi pelaku usaha yang mandiri, atau sekitar 0,18 persen dari populasi. Dengan jumlah penduduk sebesar 220 juta, Indonesia membutuhkan 4,4 juta entrepreneur.
Bagaimana menghasilkan wirausaha sebanyak itu? Menurut Ciputra, sosok entrepreneur adalah seorang yang mampu mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. Namun, kita orang Indonesia tidak perlu memulai dari kotoran dan rongsokan. Indonesia dianugerahi dengan kelimpahan potensi sumber daya alam, seperti energi, aneka komoditas, dan bahan-bahan tambang yang luar biasa. Namun, produk-produk itu kurang mendapat sentuhan entrepreneurship sehingga tidak menghasilkan nilai tambah yang tinggi.
Saat ini generasi muda kita tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Untuk menghasilkan wirausaha yang andal, paling tidak dibutuhkan 3L yang menentukan, yaitu: lahir, lingkungan, dan latihan. Lahir, seseorang yang lahir dari keluarga wirausaha sehingga mendapat atmosfer kewirausahaan dalam jangka panjang. Ibarat ia sudah lahir di tengah-tengah tumpukan barang dagangan.
Lingkungan, seseorang berada dalam lingkungan entrepreneurship sehingga jiwa wirausahanya muncul, misalnya, seorang profesional yang bekerja bertahun-tahun dengan seorang wirausaha. Latihan atau pendidikan, upaya yang secara sadar dan terstruktur dilakukan untuk membangun mind set wirausaha.
Solusi
Pendidikan Kewirausahaan sering kali dikaitkan dengan kegiatan dagang atau jual beli sehingga guru dan kalangan pendidikan ragu memasukkan unsur wirausaha dalam materi pelajaran. Hal itu kurang tepat karena entrepreneurship bukan sekadar berdagang untuk menghasilkan keuntungan, melainkan tujuan utamanya mengubah mind set sehingga jiwa kewirausahaan bisa dikondisikan (by design) melalui pendidikan sejak usia dini.
Melalui pendidikan, seseorang didorong untuk mencari dan menciptakan peluang yang bernilai bagi masyarakat. Ia ditumbuhkan menjadi seorang inovator yang menemukan solusi bagi masyarakat, seorang sosok yang berani mengambil risiko secara terukur. Entrepreneur yang sukses tidak mulai dengan berdagang demi keuntungan finansial, tetapi mencari inovasi kreatif bagi masyarakat. Keuntungan finansial adalah produk dari kreativitas, kata panelis Agus Bastian.
Dalam pendidikan entrepreneurship, peserta didik tidak sekadar didorong menjadi business entrepreneur, tetapi juga menjadi government entrepreneur, semacam Lee Kuan Yew, seorang leader yang menumbuhkan Singapura, atau Soekarno, sang pembebas Indonesia, academic entrepreneur, seperti Nicholas Negroponte, penggagas One Chils One Laptop dari MIT Amerika Serikat, dan social entrepreneur, yang menghimpun dana demi kesejahteraan bersama, semacam Muhamad Yunus, Bunda Teresa, atau Romo YB Mangunwijaya.
Bagaimana mengimplementasi quantum leap entrepreneurship (lompatan kuantum kewirausahaan)? Ciputra menawarkan tiga gagasan.
Pertama, untuk pendidikan usia dini, dasar, dan menengah, perlu diintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam kurikulum nasional. (Ferry T. Indratno)