Untuk menjawab kebutuhan organisasi difabilitas dan para rekan difabel tentang perlunya gambaran penerapan atau praktik program RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) di tingkat lapangan, KARINAKAS menerbitkan buku: “Dari Sukoharjo untuk Indonesia, Praktik Baik Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat” dengan harapan dapat menginspirasi bagi semua pihak yang membutuhkan dalam menerapkan program RBM di wilayah masing-masing.
Buku yang ini ditulis Pramono Murdoko, Program Manajer Program Peduli KARINAKAS akan dibedah pada hari Kamis, 8 September 2016 Pukul 9.00 di kantor KARINAKAS, Gedung Belarasa Jl, Panuluh 377 Pringwulung, Depok Sleman, dengan menghadirkan pembicara Pramono Murdoko (selaku penulis), Setia Adi Purwanto (Direktur Dria Manunggal), dan Sunarman (Direktur PPRBM Solo), dimoderatori Nurul Sa’adah (Direktur SAPDA).
Apa yang dimaksud RBM? Definisi untuk Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM) oleh WHO seiring waktu mengalami perubahan. RBM atau CBR (Community Based Rehabilition) yang pada awalnya menekankan pada pelayanan medis atau pendidikan berubah menjadi keprihatinan pada kesamaan hak dan pengurangan kemiskinan orang dengan kebutuhan khusus. Saat ini RBM dimaknai oleh WHO (World Health Organization/Organisasi Kesehatan Dunia) sebagai sebuah strategi. Untuk meningkatkan akses ke pelayanan rehabilitasi untuk difabel memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal.
KARINAKAS dengan segala keterbatasannya serta ketersediaan sumberdaya, tanpa berusaha menyimpang dari pemaknaan WHO, memaknai RBM sebagai suatu cara/metode mengembalikan hak hak difabel (orang dengan kemampuan berbeda) dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dengan mengembalikan difabel ke tegah tengah kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Secara lebih khusus, KARINAKAS memaknai rehabilitasi bukan dalam konteks pengertian yang mengacu pada nuansa normal-tidak normal, dimana rehabilitasi kemudian diandaikan untuk mengembalikan dari yang tidak normal menjadi normal. Konsep rehabilitasi yang didefinisikan KARINAKAS adalah rehabilitasi dalam pengertian menemukan dan meningkatkan potensi berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Keberadaan difabel di masyarakat sejak dahulu sampai saat ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, masih terus diupayakan kemandirian dan kesejahteraannya oleh berbagai pihak. Pemerintah dalam hal ini, sebagai pemangku kepentingan yang bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan warga negaranya melakukan hal tersebut melalui program-program dan kebijakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh lembaga-lembaga non Pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi agama, organisasi sosial, bahkan organisasi yang anggotanya berbasis difabel.
Upaya yang dilakukan Pemerintah maupun lembaga-lembaga non Pemerintah, turut pula dilakukan oleh Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KARINAKAS). KARINAKAS sebagai lembaga sosial gereja, sejak tahun 2006 paska gempa bumi di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah, telah ikut andil dalam memberdayakan difabel. Dalam memberdayakan difabel, KARINAKAS menggunakan strategi Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). RBM sendiri adalah merupakan sebuah strategi pemberdayaan difabel dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan, seperti SHG (Self Help Group) dan DPO (Difable People Organization). Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan karena permasalahan yang dihadapi difabel begitu kompleks, sehingga penyelesaiannyapun harus secara holistik dan komprehensif.
RBM yang dilakukan KARINAKAS menggunakan matriks WHO yang meliputi 5 komponen yaitu kesehatan, pendidikan, mata pencaharian, sosial inklusi dan pemberdayaan. Dalam implementasinya prinsip-prinsip RBM didasarkan kepada CRPD (Convention on The Rights of Persons with Disabilities).
KARINAKAS mengimplementasikan RBM pada tahun 2009, dan mengambil lokasi di Desa Nguter dan Kedungwinong, Kecamatan Nguter pada khususnya dan Kabupaten Sukoharjo pada umumnya, ternyata turut membawa dampak positif bagi difabel, masyarakat bahkan Pemerintah. Berbagai kegiatan dalam rangka mewujudkan kemandirian difabel dan masyarakat inklusi yang adalah cita-cita utama RBM dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin difabel serta masyarakat yang ada di area program. Dukungan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, SKPD terkait dan Organisasi Difabel turut memberi warna yang baik bagi keberlangsungan RBM pada saat itu, bahkan sampai saat ini. Praktik baik yang dilakukan melalui RBM, oleh KARINAKAS kemudian didokumentasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan ini.
Kehadiran buku ini juga merupakan sebuah sumbangan KARINAKAS untuk berbagi dengan semua pihak tentang pelaksanaan RBM, sehingga siapapun baik secara individu maupun institusi dapat mereplikasi RBM untuk mewujudkan kemandirian difabel dan menciptakan masyarakat inklusi. (Ferry T. Indratno)