Orang cerdas diukur dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Orang bijak dinilai dari pertanyaan yang dia ajukan

DIA YANG SEORANG DIRI DI RUMAH

Kisah Sukses Slamet Widodo

Slamet Widodo dengan motor roda tiganya (Foto: Fajar)

 Oleh:

Achmad FH Fajar

 Bersama Kader RBM (Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat), Slamet Widodo berusaha berdikari.

            Setiap kali azan Subuh berkumandang, Slamet Widodo terbangun. Setelah itu dia berwudhu dan mendirikan shalat Subuh. Kemudian, seusai shalat, dia mengerjakan pekerjaan rumahan yang biasa dilakukan. Seperti memasak, mencuci baju, mengepel, menyapu, hingga ke aktivitas menjemur pakaian.

            Semua kegiatan itu jadi rutinitas harian Slamet Widodo setelah mengalami kecelakaan hebat. Tragedi tersebut terjadi pada 1997 dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh. Selama itu pula dia jarang keluar rumah. “Kalau toh keluar, paling waktu berobat. Untungnya sekarang ada roda tiga dari KARINAKAS, jadi bisa keluar sendiri,” jelas Slamet Widodo sambil menunjuk fasilitas pinjaman KARINAKAS berupa motor modifikasi.

            Setelah anak-anaknya dewasa, Slamet Widodo tinggal sendiri di rumah. Kedua anaknya pergi keluar kota untuk keperluan kerja. “Mereka kerja di Jakarta, tapi nyambi kuliah juga,” tutur Slamet Widodo.

            Sebelum memutuskan merantau ke ibu kota, kedua anaknya itu sempat tinggal serumah dengan dia. Setidaknya sejak meraka masih di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. “Saya kayak ibu rumah tangga, nyuci dan masak sendiri, dan ngrumat anak-anak. Makanya orang-orang kalau ke rumah saya pada heran,” terangnya.

Kisah Sukses Slamet Widodo

Slamet Widodo dalam sebuah cara Pelatihan yang diadakan KARINAKAS (Foto: Fajar)

            Istri Slamet Widodo juga di Jakarta. Keputusan itu diambil untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setelah Slamet Widodo kehilangan kemampuan sebagai penyokong utama. “Dulu, istri jualan jamu gendong, sekarang nyepeda,” kata Slamet Widodo.

            Kelumpuhan yang dideritanya tidak hanya mengasingkan dia dengan lingkungan sosial, tapi juga kepercayaan diri. Apalagi ketika jauh dari keluarga, dia sering merasa kesepian. Namun, setelah mendapat pendampingan KARINAKAS, dia mengakui mengalami perubahan yang cukup baik. “Jangan malu. Kamu harus berani bicara di depan orang banyak,” kata Slamet Widodo menirukan motivasi fasilitator KARINAKAS.

Pekerjaan Sebelum Celaka

            Slamet Widodo mengisahkan kecelakaan yang dialaminya pada 1997. Kecelakaan itu terjadi di Subang, Jawa Barat, ketika dia dalam perjalanan dari Jakarta hendak ke Sukoharjo. “Saya dibonceng teman. Rencananya mau bawa motor yang baru saya beli ke kampung,” kenangnya.

            Dia mengaku tidak mengingat detail kejadian, karena dia tidak sadarkan diri dalam waktu lama ketika berada di rumah sakit. Dia hanya mengingat detik-detik sebelum kejadian, sewaktu melintasi Subang terdapat perbaikan jalan. Naas, perbaikan jalan tanpa diberi rambu lalu lintas itu membuatnya celaka. “Kecepatan tinggi, mungkin saya terpental,” kisahnya.

            Segala macam pengobatan telah dia jamah agar dapat sembuh. Mulai dari pengobatan medis, tradisional, maupun alternatif, tapi nihil hasilnya. Bersama keluarganya, dia mendatangi semua tempat yang menawarkan kesembuhan baginya. “Istilah orang Jawa itu kentekan gending. (kehabisan jalan keluar) Sekarang, ya, hanya bisa pasrah dan sabar untuk terima keadaan,” terang Slamet Widodo.

            Sebelum lumpuh, pekerjaan terakhir Slamet Widodo adalah sopir pribadi di Jakarta. Tugasnya sehari-hari mengantar dan menjemput anak-anak majikannya dari sekolah. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan kesekian setelah bergonta-ganti profesi.

            Menurut Slamet Widodo, majikan terakhir tempatnya mengabdi sangat baik hati. Pada waktu kosong, majikannya membebaskan dia untuk beraktivitas apapun tanpa adanya potongan dalam gaji pokok. “Saya ikut nongkrong di pengkolan untuk ngojek daripada cuma bengong di rumah bos,” katanya.

Harapan ke Depan

            Sulit untuk membujuk Slamet Widodo bergabung dengan tim RBM. Dia mengaku alasan keengganannya bergabung itu karena tidak mau merepotkan. “Setiap kali ada kegiatan dari KARINAKAS atau RBM, saya di jemput, istilahnya diotong-otong (digotong beramai-ramai),” kata Slamet Widodo. Namun, setelah anggota KARINAKAS dan kader RBM membujuknya dengan alasan biodata dirinya telah diketahui oleh pihak pendonor program RBM, dia melunak.

            Motivasi Slamet Widodo bergabung dengan RBM pun tidak muluk-muluk. Pertama, dia ingin menambah wawasan. Kedua, dia ingin memiliki banyak saudara maupun kawan.

            Penyandang difabel yang didampingi KARINAKAS sejak Agustus 2015 itu mengaku banyak menerima manfaat dari pendampingan, meskipun dari segi ekonomi belum menunjukkan hasil. Menurutnya, itu karena pengelolaan usaha dilakukan secara berkelompok, jadi hasil dari usaha tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat.

            Bersama kader RBM dan SHG (Self Hep Group) lainnya, dia telah berdikari untuk beberapa ragam usaha. Macam-macam usaha itu antara lain pembuatan pembersih piring, pelembut pakaian, dan pewangi pakaian. “Kalau kelompok, saya kok cenderung laundry. Selain peluangnya agak bagus, kalau tidak dikerjakan kita juga gak rugi,” tuturya.

            Sedangkan untuk usaha pribadi, selain menjahit sol sepatu, sebenarnya sejak lama dia telah mengerjakan satu macam usaha yang menurutnya cukup menarik. Kerajinan tangan yang dimaksudnya itu adalah merangkai mutiara imitasi menjadi tas. Namun, usaha itu berhenti setelah tetangga yang sering dia minta tolong untuk beli bahan sudah pindah kerja. “Kesulitan saya itu mencari bahan baku,” jelasnya.

menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal; tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi; maka menerima kasih sekaligus juga memberi kasih karena memungkinkan orang lain memberi kasih #RomoMangun "Burung-burung Manyar"

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com